Selasa, 15 Desember 2009

Indonesia Pertegas Komitmen Perangi Limbah Berbahaya


Indonesia tegaskan kembali komitmennya terhadap perlindungan kesehatan manusia dan lingkungan hidup dari dampak merugikan limbah berbahaya. Hal ini nyata tercermin dari partisipasi aktif Indonesia dalam Basel Convention on the Control of Transboundary Movements of Hazardous Wastes and their Disposal, dimana Indonesia menjabat sebagai Presiden COP-9 Konvensi Basel (2008-2011). Sebagai negara dengan garis pantai terpanjang kedua di dunia, Indonesia menempatkan pengelolaan dan penanganan pergerakan lintas batas ilegal limbah berbahaya sebagai salah satu prioritas dalam penanganan isu lingkungan.

Hal-hal tersebut juga ditegaskan oleh Duta Besar/Wakil Tetap RI untuk PBB, Dian Triansyah Djani, pada konferensi pers dalam rangka persiapan Peringatan 20 tahun Konvensi Basel pada 13 November 2009 di Kantor PBB di Jenewa. Acara puncak peringatan akan diadakan di kota Basel pada hari ini (17/11). Dalam peringatan tersebut akan diluncurkan Basel Waste Solutions Circle, di mana Indonesia, Swiss, Kenya, dan Kolombia akan menyampaikan program-program penanganan limbah berbahaya di masing-masing negara sebagai kontribusi terhadap Basel Waste Solutions Circle.

Indonesia dalam hal ini akan menampilkan sebuah program khusus penanganan limbah yang disebut PROPER. Program yang akan dipresentasikan langsung oleh Menteri Negara Lingkungan Hidup tersebut merupakan Program Penilaian Peringkat Kinerja Penataan dalam Pengelolaan Lingkungan yang telah dikembangkan oleh Kementerian Negara Lingkungan Hidup sejak tahun 1995.

PROPER, dengan menggunakan metode pemberian kategori dengan warna hitam, merah, biru, hijau dan emas bagi perusahaan-perusahaan besar dalam negeri, merupakan perwujudan transparansi dan demokratisasi dalam pengelolaan lingkungan di Indonesia. Pelaksanaan program ini dilakukan secara terintegrasi dengan melibatkan berbagai pemangku kepentingan, mulai dari tahapan penyusunan kriteria penilaian, pemilihan perusahaan, penentuan peringkat, sampai pada pengumuman peringkat kinerja kepada publik.

Dalam konferensi pers, Dubes Swiss, Dante Martinelli, menyampaikan bahwa negaranya sebagai tuan rumah konferensi internasional yang mengesahkan Konvensi Basel dan sebagai tuan rumah Sekretariat Konvensi Basel, mempunyai perhatian khusus terhadap penanganan limbah berbahaya. Swiss telah menjalin kerjasama dengan beberapa negara mengenai penanganan limbah telepon genggam dan peralatan komputer.

Sementara itu, Dubes Kolombia menyampaikan mengenai proyek "Computer Programme for Educational Purposes" yang fokus utamanya pendidikan publik mengenai bahaya e-wastes dan mendorong tumbuhnya corporate social responsibility. Sedangkan Dubes Kenya menyampaikan mengenai Nairobi River Basin Rehabilitation Program (NRBP) yaitu sebuah inisiatif multi-stakeholders yang bertujuan merehabilitasi dan mengelola Nairobi River Basin dengan sasaran meningkatkan kualitas penghidupan penduduk Nairobi dan meningkatkan kualitas lingkungan.

Konvensi Basel yang disahkan di Basel di tahun 1989 merupakan kesepakatan lingkungan skala global yang paling komprehensif tentang limbah berbahaya dan limbah lain. Konvensi Basel beranggotakan 172 negara, dimana Indonesia menjadi negara pihak sejak tahun 1993.

Sumber :
http://www.deplu.go.id/Pages/News.aspx?IDP=2943&l=id
17 November 2009

Sumber Gambar:
http://wasteawarebusiness.files.wordpress.com/2009/03/waste-hierarchy1.png?w=485&h=416

Definisi Limbah

Limbah adalah buangan yang dihasilkan dari suatu proses produksi baik industri maupun domestik(rumah tangga), yang lebih dikenal sebagai sampah, yang kehadirannya pada suatu saat dan tempat tertentu tidak dikehendaki lingkungan karena tidak memiliki nilai ekonomis. Bila ditinjau secara kimiawi, limbah ini terdiri dari bahan kimia Senyawa organik dan Senyawa anorganik. Dengan konsentrasi dan kuantitas tertentu, kehadiran limbah dapat berdampak negatif terhadap lingkungan terutama bagi kesehatan manusia, sehingga perlu dilakukan penanganan terhadap limbah. Tingkat bahaya keracunan yang ditimbulkan oleh limbah tergantung pada jenis dan karakteristik limbah.

Karakteristik limbah:

Berukuran mikro
Dinamis
Berdampak luas (penyebarannya)
Berdampak jangka panjang (antar generasi)

Faktor yang mempengaruhi kualitas limbah adalah:

Volume limbah
Kandungan bahan pencemar
Frekuensi pembuangan limbah

Berdasarkan karakteristiknya, limbah industri dapat digolongkan menjadi 4 bagian:

Limbah cair
Limbah padat
Limbah gas dan partikel
Limbah B3 (Bahan Berbahaya dan Beracun)

Untuk mengatasi limbah ini diperlukan pengolahan dan penanganan limbah. Pada dasarnya pengolahan limbah ini dapat dibedakan menjadi:

pengolahan menurut tingkatan perlakuan
pengolahan menurut karakteristik limbah

Indikasi Pencemaran Air

Indikasi pencemaran air dapat kita ketahui baik secara visual maupun pengujian.

1. Perubahan pH (tingkat keasaman / konsentrasi ion hidrogen) Air normal yang memenuhi syarat untuk suatu kehidupan memiliki pH netral dengan kisaran nilai 6.5 – 7.5. Air limbah industri yang belum terolah dan memiliki pH diluar nilai pH netral, akan mengubah pH air sungai dan dapat mengganggukehidupan organisme didalamnya. Hal ini akan semakin parahjika daya dukung lingkungan rendah serta debit air sungai rendah. Limbah dengan pH asam / rendah bersifat korosif terhadap logam.

2. Perubahan warna, bau dan rasa Air normak dan air bersih tidak akan berwarna, sehingga tampak bening / jernih. Bila kondisi air warnanya berubah maka hal tersebut merupakan salah satu indikasi bahwa air telah tercemar. Timbulnya bau pada air lingkungan merupakan indikasi kuat bahwa air telah tercemar. Air yang bau dapat berasal darilimba industri atau dari hasil degradasioleh mikroba. Mikroba yang hidup dalam air akan mengubah organik menjadi bahan yang mudah menguap dan berbau sehingga mengubah rasa.

3. Timbulnya endapan, koloid dan bahan terlarut Endapan, koloid dan bahan terlarut berasal dari adanya limbah industri yang berbentuk padat. Limbah industri yang berbentuk padat, bila tidak larut sempurna akan mengendapdidsar sungai, dan yang larut sebagian akan menjadi koloid dan akan menghalangibahan-bahan organik yang sulit diukur melalui uji BOD karena sulit didegradasi melalui reaksi biokimia, namun dapat diukur menjadi uji COD. Adapun komponen pencemaran air pada umumnya terdiri dari :

Bahan buangan padat
Bahan buangan organik
Bahan buangan anorganik

Sumber : http://id.wikipedia.org/wiki/Limbah

Impor Limbah, Tawaran Menggiurkan di Era Otonomi Daerah

Persoalan impor limbah kembali mengemuka setelah sejumlah pemerintah daerah di kawasan timur Indonesia mengaku telah didekati oleh beberapa negara yang ingin mengekspor limbahnya secara langsung ke daerah tersebut. Bagi pejabat daerah yang mulai dipusingkan dengan upaya mencari sumber pemasukan dalam rangka otonomi daerah, maka penawaran ini sangatlah menggiurkan. Layaknya games SimCity 3000 di komputer, negara tetangga akan menawarkan modal untuk melaksanakan pembangunan dengan imbalan alokasi sebagian wilayah kita sebagai tempat pembuangan sampah. Penawaran ini memang mendatangkan uang, namun semudah dan sesederhana itukah? Tulisan ini berusaha mengajak para pejabat di daerah sebagai pengambil keputusan untuk lebih arif dalam menyikapi penawaran impor limbah dengan mengkajinya dari sisi peraturan dan hukum yang mengaturnya.

Sebenarnya persoalan impor limbah bukanlah bahasan yang baru. Pada tahun 1996, Indonesia sudah pernah mengimpor limbah dari Australia, berupa: 2.417 ton limbah timah bekas, 105 ton aki bekas, dan 29.500 buah baterai bekas. Pada tahun 1998, sebanyak 91 kontainer sampah plastik impor, dimana separuh daripadanya mengandung limbah B3, tertahan di pelabuhan Tanjung Priok sebagai barang ilegal. Belum lepas pula dari ingatan, polemik rencana impor limbah lumpur dari Singapura untuk reklamasi Teluk Pelambung dan Pulau Nipah. Itu semua menunjukkan bahwa Indonesia merupakan sasaran bagi pembuangan limbah dari negara-negara maju.

Permasalahan limbah radioaktif dan bahan beracun yang mengancam kesehatan dan lingkungan termasuk dalam tujuh persoalan dunia yang keberadaannya terus diperdebatkan. Perhitungan global menunjukkan bahwa pada setiap tahunnya terdapat tiga juta ton limbah B3 yang melintas perbatasan antar negara. Konvensi Basel -konvensi yang mengatur perpindahan limbah antar negara- yang ditandatangani pada tahun 1989, sebenarnya telah melarang hal tersebut. Persoalan yang mengganjal adalah apakah limbah radioaktif harus tetap disimpan dan atau dibuang di negara yang menghasilkan limbah tersebut, sedangkan produk yang dihasilkan bisa dinikmati oleh negara lain.

Liberalisasi perdagangan dunia yang ditandai dengan penghapusan hak setiap pemerintah mengontrol ekspor oleh WTO (World Trade Organization) dikhawatirkan akan mengganggu keberadaan Konvensi Basel. Liberalisasi perdagangan dunia memudahkan industri di negara maju yang masih menggunakan teknologi yang mencemari lingkungan menghindarkan diri dari peraturan lingkungan yang diberlakukan secara ketat di negaranya. Ekspor limbah B3 dari negara maju ke negara berkembang akan meningkat sejalan dengan semakin ketatnya peraturan di negara tersebut. Jika sedari sekarang tidak cepat mengantisipasinya, Indonesia -terutama kawasan timur- akan menjadi lahan empuk bagi pembuangan limbah.

Limbah B3, seperti apa toh?

Berdasarkan Peraturan Pemerintah No 18 Tahun 1999 pasal 1, yang dimaksud dengan limbah bahan berbahaya dan beracun (selanjutnya disingkat menjadi limbah B3) adalah setiap limbah yang mengandung bahan berbahaya dan/atau beracun yang karena sifat dan/atau konsentrasinya dan/atau jumlahnya, baik secara langsung maupun tidak langsung dapat merusak dan/atau mencemarkan lingkungan hidup dan/atau dapat membahayakan kesehatan manusia. Menurut Prof. Sugeng Martopo (Alm.), Guru Besar Ilmu Lingkungan Fakultas Geografi UGM, kriteria bahan yang bersifat racun dan berbahaya adalah: (1) Eksplosif yaitu senyawa yang mudah meledak; (2) Oxidant yaitu terjadi reaksi eksotermis bila kontak dengan bahan yang mudah menyala; (3) Extremely flammable, Highly flammable, dan Flammable berkaitan dengan sifat pembakaran; (4) Very toxic yaitu bahan-bahan yang dapat menimbulkan gangguan kesehatan yang bersifat akut maupun kematian; (5) Harmful jika hanya menimbulkan resiko kesehatan sampai batas-batas tertentu, (6) Corrosive yaitu korosif pada kulit; (7) Irritant yaitu menyebabkan pembengkakan pada kulit; (8) Dangerous for the Environment yaitu menimbulkan gangguan secara langsung pada lingkungan, (9) Carsinogenic bila terhirup, terserap, atau terkena kulit, serta dapat menimbulkan kanker, (12) Mutagenic yaitu dapat menyebabkan perubahan pada gen, dan (13) Terratogenic yaitu senyawa yang bila terhirup dapat tercerna pada embrio (malformation of the embryo). Rincian dari masing-masing jenis dapat dibaca pada Lampiran PP No 85 tahun 1999.

Peraturan, Hukum, dan Sisi Lemahnya

Kebijakan pemerintah Indonesia yang masih memberikan ijin impor limbah, meskipun dimanfaatkan sebagai bahan baku daur ulang, tidak sesuai dengan jiwa Konvensi Basel. Hasil pertemuan berbagai pihak pada konvensi tersebut memutuskan pelarangan semua ekspor limbah B3 untuk tujuan pembuangan akhir dari negara industri ke negara non-OECD (Organization for Economic Cooperation and Development) melalui keputusan II/2. Selain itu telah disepakati juga pelarangan semua ekspor limbah B3 untuk keperluan daur ulang dan reklamasi, termasuk untuk bahan baku, berlaku sejak tanggal 31 Desember 1997.

Larangan total impor limbah B3 sebenarnya telah diatur dalam PP No 19/1994 pasal 27 tentang Pengelolaan Limbah B3. Namun ketentuan tersebut diubah melalui PP No 12/1995 dengan tujuan membuka kemungkinan impor limbah B3 untuk penambahan bahan baku industri. Perubahan itu disebabkan adanya desakan dari instansi yang mengurus perdagangan dan perindustrian, serta upaya lobi dari negara OECD. Pemerintah pun berkilah bahwa larangan total akan melumpuhkan industri yang masih menggunakan limbah B3 sebagai bahan bakunya. Ternyata membuka kembali impor limbah B3 tersebut hanya sekedar mempertahankan beberapa industri aki, yang tidak sebanding dengan biaya lingkungan, sosial, dan politik yang harus dibayar oleh rakyat Indonesia. Banyak pihak yang tidak setuju dan mendesak pemerintah untuk melarang total impor semua jenis limbah, namun keputusan tetap jalan terus.

Keberadaan SK Menteri Perdagangan No 349/Kp/XI/1992 tentang larangan impor sampah atau limbah plastik ke wilayah Indonesia tidak ditaati karena adanya intervensi ‘tangan yang lebih kuat.’ Indonesia seharusnya belajar dari ketegasan negara-negara di Afrika yang dalam Konvensi Bamako telah melarang impor limbah B3 ke Afrika dan mengendalikan pergerakan lintas batas dan pengelolaan limbah B3 antar sesama negara Afrika.

Perangkat hukum yang berlaku di Indonesia juga masih banyak mengandung kelemahan, karena belum dimasukkannya ketentuan ancaman hukuman pidana bagi pelanggarnya, khususnya pengimpor limbah B3. Sanksi pidana dalam UU No 4/1982 tidak bisa diterapkan bagi importir, karena sanksi pidana dalam undang-undang tersebut hanya ditujukan bagi pelaku pencemaran yang terbukti melakukan pencemaran. Tengoklah kembali kasus impor sampah dari AS yang membuat hubungan Cina-AS meregang pada tahun 1996. Sejak saat itu, pemerintah Cina memperketat pengawasan untuk mencegah masuknya impor sampah ilegal, meningkatkan pemeriksaan bea cukai, dan memberikan hukuman berat bagi pelanggar. Walhasil, William Ping Chen, seorang pengusaha AS keturunan Cina, diganjar hukuman penjara sepuluh tahun karena terbukti menyelipkan 238 ton sampah dan limbah rumah sakit diantara dua juta ton kertas bekas dan pengapalan logam. Bandingkan dengan kasus tertahannya 91 kontainer limbah B3 di Pelabuhan Tanjung Priok, yang sampai sekarang tidak ada kaji tindak hukumnya.

Perdebatan terhadap keberadaan PP No 18/1999 tentang Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun (B3) sebagai pengganti PP No 19/1994 jo PP No 12/1995 harus segera diakhiri. Peraturan Pemerintah yang merupakan modifikasi dari RCRA -uji tingkat bahaya limbah di AS- ini sebenarnya sudah mengatur limbah B3 secara terinci dan memenuhi standar seperti halnya di negara-negara barat. Oleh karena itu, sektor pertambangan dan energi yang menyatakan tetap berkomitmen pada pembangunan berwawasan lingkungan, seharusnya tidak berusaha melonggarkan lagi peraturan ini. Apalagi setelah ditetapkannya PP No 85/1999 tentang Perubahan atas PP No 18/1999, sehingga keraguan akan referensi, ukuran, metode, maupun penggolongan yang digunakan ‘seharusnya’ dihilangkan.

Berkaitan dengan masalah impor limbah, pemerintah harus melakukan pengawasan yang cermat terhadap lalu lintas limbah dari luar negeri. Sesuai isi Konvensi Basel bahwa ekspor-impor limbah tetap merupakan urusan pemerintah pusat dengan negara yang bersangkutan dan tidak dilimpahkan ke daerah. Daerah tidak diijinkan mengimpor limbah secara langsung. Pemerintah daerah yang tetap nekat untuk memasukkan limbah/sampah dengan alasan sebagai bahan baku industri, akan berhadapan dengan UU No 23/1997 tentang Larangan Pengelolaan Limbah Impor.

Penutup

Sebagai simpulannya, yang pertama bahwa impor limbah merupakan pelanggaran terhadap Konvensi Basel. Kedua, meskipun peluang impor limbah dimungkinkan bagi kebutuhan bahan baku industri, namun perlu diingat bahwa biaya cleaning up-nya ternyata jauh lebih besar. Ketiga, sesuai dengan isi Konvensi Basel bahwa daerah tidak diijinkan mengimpor limbah secara langsung tanpa persetujuan dari pemerintah pusat. Keempat, diperlukan peraturan daerah yang khusus mengenai pengelolaan limbah B3 dengan mengacu PP No 18/1999 dan perubahan atasnya yang terdapat dalam PP No 85/1999.

Akhirnya, selamat memainkan peran ‘Walikota SimCity3000’ di daerah otonomi Bapak-Bapak. Semoga keputusan untuk melakukan pembangunan yang bersih lingkungan-lah yang diambil, tanpa menghiraukan tawaran impor limbah dari negara lain yang tampaknya menggiurkan itu.

*) Penulis adalah buruh tambang minyak lepas pantai yang disela-sela waktu luang menjadi pekerja sosial kebencanaan.

Sumber :
Juniawan Priyono
http://www.sutikno.org/index.php?option=com_content&task=view&id=41&Itemid=51
24 Februari 2007

Waspadai Limbah Industri

Indonesia akan menjadi tuan rumah konferensi kelas dunia tentang limbah Bahan Berbahaya dan Beracun (B3). Forum ini bisa menjadi momentum peningkatan pengelolaan limbah industri yang selama ini terabaikan akibat tingginya ongkos produksi.

Rencananya, Konferensi Antar Bangsa Pengelolaan Limbah B3 tingkat dunia atau Konvensi Basel ke-9 (Conference of the Parties -COP) akan berlangsung di Nusa Dua, Bali pada 23 hingga 27 Juni 2008. Konferensi Basel merupakan perjanjian internasional yang bertujuan mengendalikan pemindahan lintas batas limbah bahan berbahaya dan beracun (B3).

Konferensi akan dihadiri sekitar 1.000 peserta dari 170 negara, 30 menteri atau pejabat setingkat menteri. Menteri Lingkungan Hidup Indonesia, Rachmat Witoelar selaku presiden COP, dijadwalkan akan membuka konferensi ini.

Letak strategis Indonesia dan termasuk dalam negara kepulauan, membuat Indonesia rawan terhadap penyelundupan dan pengiriman limbah B3 ilegal. Konvensi Basel disepakati di Basel, Swiss pada Maret 1989 dan mulai berlaku resmi pada 1992. Indonesia telah meratifikasi konvensi tersebut sejak 1993 melalui Keputusan Presiden No 61/1993.

Ada baiknya konferensi juga membahas fenomena pembuangan limbah industri skala lokal. Meski belum ada angka tentang perkembangan penanganan limbah industri pasca gonjang-ganjing harga minyak dunia dan kenaikan harga BBM lokal namun sudah bisa dipastikan pengolahan limbah bakal mengendur.

Industri saat ini lebih terfokus pada upaya untuk melakukan efisiensi seiring makin melambungnya biaya produksi, belanja pegawai hingga ongkos energi. Sehingga mau tak mau akan menomorduakan persoalan pembuangan limbahnya. Apalagi pengolahan limbah memerlukan biaya tinggi

Padahal limbah industri sangat potensial sebagai penyebab terjadinya pencemaran. Pada umumnya limbah industri mengandung limbah B3, yaitu bahan berbahaya dan beracun. Menurut PP 18/99 pasal 1, limbah B3 adalah sisa suatu usaha atau kegiatan yang mengandung bahan berbahaya dan beracun yang dapat mencemarkan atau merusak lingkungan hidup sehingga membahayakan kesehatan serta kelangsungan hidup manusia dan mahluk lainnya.

Logam yang paling berbahaya dari limbah industri adalah merkuri atau yang dikenal juga sebagai air raksa (Hg) atau air perak. Limbah yang mengandung merkuri selain berasal dari industri logam juga berasal dari industri kosmetik, batu baterai, plastik dan sebagainya.

Di Jepang antara tahun 1953-1960, lebih dari 100 orang meninggal atau cacat karena mengkonsumsi ikan yang berasal dari Teluk Minamata. Teluk ini tercemar merkuri yang berasal dari sebuah pabrik plastik.

Bila merkuri masuk ke dalam tubuh manusia melalui saluran pencernaan, dapat menyebabkan kerusakan akut pada ginjal sedangkan pada anak-anak dapat menyebabkan Pink Disease/ acrodynia, alergi kulit dan kawasaki disease/mucocutaneous lymph node syndrome.

Selain itu, pencemaran industri juga berdampak buruk bagi lahan pertanian produktif dan dapat menurunkan kualitas tanah maupun kualitas produk pertanian. Pada umumnya industri dibangun di sepanjang daerah aliran sungai (DAS) dengan tujuan untuk memudahkan pembuangan limbah ke badan air.

Industri yang belum menerapkan instalasi pengolahan air limbah (IPAL) secara optimal, dan membuang langsung limbah cair ke badan air menjadi penyebab bertambahnya pencemaran. Sebagai contoh, pencemaran limbah industri yang terjadi di persawahan Kecamatan Rancaekek, Kabupaten Bandung berasal dari industri tekstil.

Karenanya limbah industri harus ditangani dengan baik dan serius oleh pemerintah dengan mengawasisungguh-sungguh. Sementara bagi pelaku industri harus melakukan cara-cara pencegahan pencemaran lingkungan dengan melaksanakan teknologi bersih, memasang alat pencegahan pencemaran, melakukan proses daur ulang.

Satu lagi yang juga mencuat dalam persoalan limbah industri ini adalah efek polusi dari pabrik berbahan baku batubara. Apalagi saat ini banyak pelaku industri yang mulai mengalihkan pengunaan energi minyak ke batu bara. Sehingga penanganan limbahnya harus lebih cepat dibanding penetrasi penggunaan batu bara di sektor industri.

Ketua Umum Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) Jabar Ade Sudradjat sudah mengingatkan untuk membangun tempat pengolahan limbah industri batubara khusus yang mampu mengolah limbah udara dan darat. "Pemerintah pusat melalui Kementerian Negara Lingkungan Hidup dan Departemen Perindustrian telah menyetujui. Kami berharap Pemprov Jabar segera menerbitkan izin tersebut," tutur Ade.

Baku mutu emisi industri berbahan baku batu bara menentukan batas maksimum partikel 150 miligram/m3, sulfur dioksida (SO2) 750 miligram/m3, nitrogen oksida (NO2) 850 miligram/m3, dan opasitas 20%.

Melihat perkembangan saat ini, tampaknya pengawasan terhadap pengolahan limbah industri makin kendor di tengah hiruk-pikuk upaya industri untuk mempertahankan produktivitasnya. Hal itu tidak boleh terjadi mengingat dampak buruk yang ditimbulkan limbah bagi kehidupan manusia. [P1]

Sumber :
M Dindien Ridhotulloh
http://www.inilah.com/berita/ekonomi/2008/06/21/34544/waspadai-limbah-industri/
21 Juni 2008

IPB Temukan Bakteri Pembersih Limbah Tambang

Metode biasa butuh dana sekitar 25-30 USD perhektar, dengan metodenya lebih murah.

Salah seorang peneliti Insitut Pertanian Bogor (IPB), Dwi Andreas Santosa, berhasil menemukan bakteri pembersih limbah tambang. Ia mengklaim, hasil temuan ilmiahnya berfungsi lebih efektif daripada teknologi yang ada saat ini.

Menurutnya, bakteri temuannya itu digunakan untuk mengurangi polutan yang ada di lingkungan. Dalam istilah keilmuan, hal tersebut biasa dipanggil teknologi bioremediasi.

"Bakteri ini mampu membersihkan limbah minyak bumi, air asam tambang, dan limbah yang mengandung merkuri dan fenol," ujarnya kepada wartawan, Kamis 10 Desember 2009.

Sampai saat ini, penggunaan teknologi ini pada pengolahan limbah, masih sangat jarang. Biasanya perusahaan berskala besar lebih sering menggunakan metode kimiawi.

Bahkan, teknologi bioremediasi yang ditemukannya, lebih efektif membersihkan limbah minyak bumi daripada teknologi yang dikembangkan PT Chevron Pasific Indonesia.

Selain itu, biaya operasional yang digunakan dalam teknologi yang dikembangkannya lebih murah. "Jika dengan metode biasa butuh dana sekitar 25-30 USD perhektar, dengan metode saya bisa lebih murah. Sekitar 15 USD," terangnya.

Selama penelitian, dia pernah melakukan uji coba di Pongkor, Kecamatan Nanggung, Kabupaten Bogor. Daerah yang digunakan sebagai penambangan emas Antam dan para penambang emas tanpa ijin (Peti) tersebut, berhasil dan sukses.

"Tahun 2004 saya pernah ke Pongkor, dan untuk penelitian, kadar merkuri dalam sampel yang saya gunakan ditambah," tuturnya.

Laporan: Ayatullah Humaeni | Bogor

Sumber :
Amril Amarullah
http://nasional.vivanews.com/news/read/112908-ipb_temukan_bakteri_pembersih_limbah_tambang
10 Desember 2009

Berkenalan dengan Katalis Pemakan Limbah

Para pakar kimia ternyata juga memikirkan masalah lingkungan. Ada yang namanya green chemistry alias kimia hijau, yakni pengembangan ilmu kimia yang ramah lingkungan.

Pencemaran limbah industri di sungai-sungai di Indonesia yang sudah lumayan memprihatinkan. Di Jawa Barat saja, hampir semua sungai yang mengalir sudah tidak jernih lagi airnya alias tercemar. Biodegradable detergents pun bila digunakan secara berlebihan akan tetap merusak lingkungan karena ekosistem yang ada lepas tangan. Para pakar kesehatan meyakini bahwa air yang sudah melalui proses penjernihan pun tetap memiliki kandungan polutan yang infinitesimal dalam part per million (ppm) hingga part per trillon (ppt). Walaupun sangat sedikit, kandungan polutan yang ada tetap dapat merusak proses metabolisme tubuh yang berujung pada tingkat intelektual, imunitas, reproduksi, hingga tingkat molekular genetika.

Kimia Hijau?

Kita boleh sedikit bersyukur bahwa perkembangan dunia kimia lingkungan yang disebut ‘green chemistry’ sudah berkembang cukup pesat. Dalam beberapa dekade terakhir misalny, Green Chemistry Institute of the American Chemical Society terus mendukung proyek-proyek yang peduli lingkungan. Salah satu proyek yang cukup berhasil adalah Carnegie Mellon University’s for Green Oxidation Chemistry. Mereka berhasil mengembangkan katalis yang bekerja seperti enzim, katalis tersebut dinamakan tetra-amido-macrocyclic ligand activators (TAML).

TAML yang bekerja bersama hidrogen peroksida (H2O2) mampu meniru kerja enzim tubuh manusia untuk mengurai toksin yang berbahaya seperti pestisida, pewarna tekstil, dan detergen. TAML juga mampu menurunkan tingkat polusi bau, menjernihkan air, hingga bersifat disinfektan dengan membunuh bakteri setingkat anthrax.

Saat TAML larut dalam air, hydrogen peroksida mengaktifkan TAML dengan menggantikan ligan H2O dengan H2O2 pada gugus TAML. Kemudian, H2O2 yang tidak stabil terurai kembali menjadi H2O menyisakan atom oksigen. Oksigen ini saling tolak menolak dengan atom besi (Fe) yang terdapat pada pusat gugus TAML. Interaksi inilah yang membuat TAML aktif dan mampu bekerja sebagaimana enzim ataupun scavenger radikal bebas yang dalam hal ini polutan. (Untuk detailnya dapat dilihat pada www.cmu.edu/greenchemistry)

TAML diyakini dapat merevolusi penggunaan klorin sebagai anti-polutan yang sudah banyak digunakan masyarakat dan dunia industri. Pada tingkat laboratorium, TAML dianggap cukup menjanjikan, tetapi pada tingkat industri lain lagi permasalahannya. TAML masih harus diuji coba kembali untuk mengobservasi efeknya pada lingkungan bila digunakan dalam jumlah yang tidak sedikit. Jangan sampai TAML justru menjadi polutan baru yang tidak teratasi lagi. Tingkat aktivasi TAML yang cukup tinggi juga ditakuti dapat merusak ekosistem yang ada sebab bakteri setingkat anthrax (Bacillus atropheus) mampu dibunuh TAML dalam 15 menit. Selain itu, biaya adalah salah satu hal yang perlu dipertimbangkan, baik biaya sintesis TAML hingga proses revolusi industri pun dapat menarik reaksi keras dari kalangan industri. Mengganti suatu aplikasi kimia pada industri tidak mudah dan murah.

Aplikasi Green Chemistry ini pun masih menyisakan suatu permasalahan tersendiri. Masyarakat yang tidak pikir panjang dengan mudah asal buang limbah dengan angan bahwa TAML dapat mengatasinya. Beberapa kalangan berikhtiar bahwa TAML dapat menjernihkan air yang tercemar dan setelah itu masyarakat dunia harus dapat berkomitmen untuk lebih cinta lingkungan. Namun, dapatkah itu terjadi?

Diambil dari: J. Collins, Terrence and Chip Walter. “Little Green Molecules”. Scientific American M

Sumber :
Hosea Handoyo
http://netsains.com/2007/08/berkenalan-dengan-katalis-pemakan-limbah/
21 Agustus 2007

Jenis Limbah Industri

Limbah berdasarkan nilai ekonominya dirinci menjadi limbah yang mempunyai nilai ekonomis dan limbah nonekonomis. Limbah yang mempunyai nilai ekonomis yaitu limbah dengan proses lanjut akan memberikan nilai tambah. Misalnya: tetes merupakan limbah pabrik gula.Tetes menjadi bahan baku untuk pabrik alkohol. Ampas tebu dapat dijadikan bahan baku untuk pabrik kertas, sebab ampas tebu melalui proses sulfinasi dapat menghasilkan bubur pulp. Banyak lagi limbah pabrik tertentu yang dapat diolah untuk menghasilkan produk baru dan menciptakan nilai tambah.

Limbah nonekonomis adalah limbah yang diolah dalam proses bentuk apapun tidak akan memberikan nilai tambah, kecuali mempermudah sistem pembuangan. Limbah jenis ini yang sering menjadi persoalan pencemaran dan merusakkan lingkungan; Dilihat dari sumber limbah dapat merupakan hasil sampingan dan juga dapat merupakan semacam “katalisator”.

Karena sesuatu bahan membutuhkan air pada permulaan proses, sedangkan pada akhir proses air ini harus dibuang lagi yang ternyata telah mengandung sejumlah zat berbahaya dan beracun. Di samping itu ada pula sejumlah air terkandung dalam bahan baku harus dikeluarkan bersama buangan lain. Ada limbah yang terkandung dalam bahan dan harus dibuang setelah proses produksi. Tapi ada pula pabrik menghasilkan limbah karena penambahan bahan penolong.

Sesuai dengan sifatnya, limbah digolongkan menjadi 3 bagian,yaitu: limbah cair, limbah gas/asap dan limbah padat.

Ada industri tertentu menghasilkan limbah cair dan limbah padat yang sukar dibedakan. Ada beberapa hal yang sering keliru mengidentifikasi limbah cair, yaitu buangan air yang berasal dari pendinginan. Sebuah pabrik membutuhkan air untuk pendinginan mesin, lalu memanfaatkan air sungai yang sudah tercemar disebabkan oleh sektor lain. Karena kebutuhan air hanya untuk pendinginan dan tidak untuk lain-lain, tidaklah tepat bila air yang sudah tercemar itu dikatakan bersumber dari pabrik tersebut. Pabrik hanya menggunakan air yang sudah air yang sudah tercemar pabrik harus selalu dilakukan pada berbagai tempat dengan waktu berbeda agar sampel yang diteliti benar-benar menunjukkan keadaan sebenarnya.

Limbah gas/asap adalah limbah yang memanfaatkan udara sebagai media. Pabrik mengeluarkan gas, asap, partikel, debu melalui udara, dibantu angin memberikan jangkauan pencemaran yang cukup luas. Gas, asap dan lain-lain berakumulasi/bercampur dengan udara basah mengakibatkan partikel tambah berat dan malam hari turun bersama embun.

Limbah padat adalah limbah yang sesuai dengan sifat benda padat merupakan sampingan hasil proses produksi. Pada beberapa industri tertentu limbah ini sering menjadi masalah baru sebab untuk proses pembuangannya membutuhkan satu pabrik pula. Limbah penduduk kota menjadikan kota menghadapi problema kebersihan. Kadang-kadang bukan hanya sistem pengolahannya menjadi persoalan tapi bermakna, dibuang setelah diolah. Menurut sifat dan bawaan limbah mempunyai karakteristik baik fisika, kimia maupun biologi.

Limbah air memiliki ketiga karakteristik ini, sedangkan limbah gas yang sering dinilai berdasarkan satu karakteristik saja seperti halnya limbah padat. Berbeda dengan limbah padat yang menjadi penilaian adalah karakteristik fisikanya, sedangkan karakteristikkimia dan biologi mendapat penilaian dari sudut akibat. Limbah padat dilihat dari akibat kualitatif sedangkan limbah air dan limbah gas dilihat dari sudut kualitatif maupun kuantitatif.Sifat setiap jenis limbah tergandung dari sumber limbah.

Sumber :
http://www.chem-is-try.org/materi_kimia/kimia-industri/limbah-industri/jenis-limbah-industri/
16 Mei 2009

Potensi Limbah Industri di Jatim Mencapai 2.000 Ton per Bulan

Potensi limbah industri bahan berbahaya dan beracun (B3) di Jawa Timur (Jatim) mencapai sekitar 1.000 ton dan 2.000 ton per bulan, karena minimnya kesadaran para pelaku industri untuk mengelolanya dengan baik. Selama tahun 2007, total limbah industri yang dihasilkan tersebut di Jatim mencapai 7 juta ton. Sementara, dari volume itu sebanyak 700 ribu ton tidak terkelola dengan baik.

Kalau jumlah limbah saat ini, tentunya lebih dari volume 2007 mengingat pertumbuhan industri di sini kian meningkat, kata Presiden Direktur PT Prasadha Pamunah Limbah Industri (PPLi), Hiromi Sonta saat peresmian Depot Pengumpulan Limbah “East Java Transfer Station/EJTS” di Jalan Berbek Industri IV Surabaya, Kamis (10/12).

Menurutnya, upaya tersebut bisa meningkatkan kesadaran para pelaku industri khususnya di Surabaya dan secara nasional. Peningkatan kesadaran ini dipicu maraknya pencemaran air sungai dan praktik pengelolaan limbah yang tidak sesuai peraturan.

“Kami memiliki komitmen tinggi untuk menyediakan solusi terhadap masalah lingkungan dengan biaya kompetitif, sekaligus mendukung upaya pemerintah meningkatkan pelestarian lingkungan nasional yang lebih baik,” ujar Hiromi.

Dalam mengelola limbah B3 tersebut, “Regional Sales Manager” PT PPLi, Daniel Simanjuntak menyebutkan, pelaku industri di Jatim tidak perlu mengeluarkan biaya yang nisbi tinggi.

“Secara umum rata-rata biaya pengelolaan limbah B3 itu antara 50 dolar Amerika Serikat (AS) untuk jenis limbah yang mudah diolah dan 500 dolar AS untuk limbah yang sulit diolah,” katanya.

Namun, Daniel mengaku, biaya itu tidak serta merta bisa mewakili kasus per kasus karena biaya yang dibutuhkan tergantung analisa konten limbah tersebut.

“Biaya pengelolaan jenis limbah solid akan berbeda dengan likuid,” paparnya.

Mengenai target volume limbah B3 yang akan diolah, pihaknya tidak mengungkapkan secara pasti berapa besarannya. Bahkan, berapa pertumbuhan yang ingin dicapai pada tahun 2010 tidak dikatakan secara jelas.

“Maaf, target angka tidak bisa kami publikasikan. Apalagi, perusahaan swasta ini didirikan atas dasar menumbuhkan kesadaran masyarakat terhadap bahaya limbah, bukan mengejar keuntungan semata,” kata Daniel berkilah.

Terkait perusahaan yang bermain di bidang yang sama, Direktur Operasional PT PPLi, Andy Vosper, menambahkan, pihaknya tidak terlalu khawatir dengan hal itu.

Ia optimistis dengan total depot yang sudah beroperasional saat ini, dalam waktu dekat sekitar 2010-2012 akan membuka satu unit depot serupa di Balikpapan.

“Bidikan tersebut karena potensi pasar dan volume limbah di sana juga besar, semisal, dari perusahaan elektronik. Rencana itu menambah jumlah depot kami yang kini masih tiga unit antara lain di Cibitung, Lamongan, dan Surabaya,” katanya. ant

Sumber :
http://www.surya.co.id/2009/12/10/potensi-limbah-industri-di-jatim-mencapai-2000-ton-per-bulan.html

Limbah Rumah Sakit Belum Dikelola dengan Baik

Dari 107 RS di Jakarta, Baru 10 RS yang Punya Insinerator

Limbah rumah sakit, khususnya limbah medis yang infeksius, belum dikelola dengan baik. Sebagian besar pengelolaan limbah infeksius disamakan dengan limbah medis noninfeksius. Selain itu, kerap bercampur limbah medis dan nonmedis. Percampuran tersebut justru memperbesar permasalahan limbah medis.

Kepala Pusat Sumberdaya Manusia dan Lingkungan Universitas Indonesia Dr Setyo Sarwanto DEA mengutarakan hal itu kepada Pembaruan, Kamis pekan lalu, di Jakarta. Ia mengatakan, rata-rata pengelolaan limbah medis di rumah sakit belum dilakukan dengan benar. Limbah medis memerlukan pengelolaan khusus yang berbeda dengan limbah nonmedis. Yang termasuk limbah medis adalah limbah infeksius, limbah radiologi, limbah sitotoksis, dan limbah laboratorium.

Limbah infeksius misalnya jaringan tubuh yang terinfeksi kuman. Limbah jenis itu seharusnya dibakar, bukan dikubur, apalagi dibuang ke septic tank. Pasalnya, tangki pembuangan seperti itu di Indonesia sebagian besar tidak memenuhi syarat sebagai tempat pembuangan limbah. Ironisnya, malah sebagian besar limbah rumah sakit dibuang ke tangki pembuang-an seperti itu.

Septic tank yang benar, ujar Setyo, terdiri atas dua bidang. Pertama, sebagai penampung, dan kedua sebagai tempat penguraian limbah. Setelah limbah terurai, disalurkan melalui pipa ke tanah yang di dalamnya berisi pasir dan kerikil. Tujuannya agar aman terhadap lingkungan.

Kenyataannya, banyak tangki pembuangan sebagai tempat pembuangan limbah yang tidak memenuhi syarat. IHal itu akan menyebabkan pencemaran, khususnya pada air tanah yang banyak dipergunakan masyarakat untuk kebutuhan sehari-hari. Setyo menyebutkan, buruknya pengelolaan limbah rumah sakit karena pengelolaan limbah belum menjadi syarat akreditasi rumah sakit. Sedangkan peraturan proses pembungkusan limbah padat yang diterbitkan Departemen Kesehatan pada 1992 pun sebagian besar tidak dijalankan dengan benar.


Bercampur
Berdasarkan peraturan itu, limbah nonmedis dibungkus dengan plastik berwarna hitam, sementara limbah medis dibungkus dengan plastik berwarna seperti kuning, merah. Tetapi, karena harga plastik pun mahal, sudah tidak ada lagi pembedaan kemasan limbah rumah sakit, sehingga limbah medis pun bercampur dengan limbah nonmedis. Limbah nonmedis diperlakukan sama dengan limbah padat lainnya. Artinya, dikelola Dinas Kesehatan dan dibuang ke tempat pembuangan akhir (TPA) sampah seperti di Bantar Gebang Bekasi.

"Percampuran limbah itu membuat sering ditemukan limbah medis di TPA, seperti botol infus, jarum suntik. Bagi pemulung plastik limbah medis, itu dianggap bisa didaur ulang, sehingga mereka mengumpulkan alat suntik itu. Sedangkan hewan di sekitar itu, misalnya kucing memakan limbah medis yang mengandung berbagai kuman yang akan berisiko pada manusia bila kucing tersebut menggigit. Itu membuat masalah limbah medis semakin besar," katanya. Ia menjelaskan, untuk limbah medis yang infeksius, berupa cairan, seharusnya dibakar dengan insinerator yang benar. Artinya, insinerator menggunakan suhu lebih dari 1.200 derajat Celsius, dan dilengkapi dengan pengisap pencemar/gas berbahaya yang muncul dari hasil pembakaran.

Abu dari hasil pembakaran distabilkan agar unsur logam dalam bentuk partikel yang terdapat pada abu tidak menjadi bahan toksik/karsinogen. Dengan perkataan lain, limbah infeksius diberlakukan sebagai limbah bahahan berbahaya (B3). Ia mencontohkan, tumor yang sudah diangkat dari pasien hendaknya dibakar dengan insinerator.

"Bukan dibakar dengan pembakaran biasa," ia menegaskan. Tetapi, pengelolaan abu dari pembakaran insinerator baru dapat dilakukan satu perusahaan swasta yang berlokasi di Cileungsi. Kondisi itu membuat permasalahan pengelolaan limbah medis infeksius di daerah. Untuk limbah radiologi, ujarnya, dilakukan oleh Badan Tenaga Atom Nasional (Batan). Setyo juga menjelaskan, dari sekitar 107 rumah sakit di Jakarta, baru sekitar 10 rumah sakit yang mempunyai insinerator, dan itu pun tidak semuanya insinerator yang benar.

Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) bersama Departemen Kesehatan pada 1997 pernah melakukan survei pengelolaan limbah di 88 rumah sakit di luar Kota Jakarta. Berdasarkan kriteria WHO, pengelolaan limbah rumah sakit yang baik bila persentase limbah medis 15 persen. Tetapi, di Indonesia mencapai 23,3 persen. Survei juga menemukan rumah sakit yang memisahkan limbah 80,7 persen, melakukan pewadahan 20,5 persen, pengangkutan 72,7 persen. Sedangkan pengelolaan limbah dengan insinerator untuk limbah infeksius 62 persen, limbah toksik 51,1 persen, limbah radioaktif di Batan 37 persen. (N-4)

Sumber:
http://www.suarapembaruan.com/News/2003/10/20/index.html

Identifikasi dan Karakteristik Limbah B3

I. Pendahuluan

Dalam pengeolaan limbah B3, identifikasi dan karakteristik limbah B3 adalah hal yang penting dan mendasar. Didalam pengelolaan limbah B3, prinsip pengelolaan tidak sama dengan pengendalian pencemaran air dan udara yang upaya pencegahanna di poin source sedangkan pengelolaan limbah B3 yaitu from cradle to grave. Yang dimaksud dengan from cradle to grave adalah pencegahan pencemaran yang dilakukan dari sejak dihasilkannya limbah B3 sampai dengan di timbun / dikubur (dihasilkan, dikemas, digudangkan / penyimpanan, ditransportasikan, di daur ulang, diolah, dan ditimbun / dikubur). Pada setiap fase pengelolaan limbah tersebut ditetapkan upaya pencegahan pencemaran terhadap lingkungan dan yang menjadi penting adalah karakteristik limbah B3 nya, hal ini karena setiap usaha pengelolaannya harus dilakukan sesuai dengan karakteristiknya.


Menurut PP 18 Tahun 1999 tentang pengelolaan limbah B3, pengertian limbah B3 adalah sisa suatu usaha dan atau kegiatan yang mengandung bahan berbahaya dan / atau beracun yang karena sifat dan / atau konsentrasinya dan / atau jumlahnya, baik secara langsung dapat mencemarkan dan / atau merusak lingkungan hidup, dan / atau membahayakan lingkungan hidup, kesehatan, keangsungan hidup manusia serta makhluk hidup lainnya.


Dari definisi diatas, semua limbah yang sesuai dengan definisi tersebut dapat dikatakan sebagai limbah B3 kecuali bila limbah tersebut dapat mentaati peraturan tentang pengendalian air dan atau pencemaran udara. Misalnya limbah cair yang mengandung logam berat tetapi dapat diolah dengan water treatment dan dapat memenuhi standat effluent limbah yang dimaksud maka, limbah tersebut tidak dikatakan sebagai limbah B3 tetapi dikategorikan limbah cair yang pengawasannya diatur oleh Pemerintah.


II. Identifikasi Limbah B3

Alasan diperlukannya identifikasi limbah B3 adalah:
mengklasifikasikan atau menggolongkan apakah limbah tersebut merupakan limbah B3 atau bukan.
menentukan sifat limbah tersebut agar dapat ditentukan metode penanganan, penyimpanan, pengolahan, pemanfaatan atau penimbunan.
menilai atau menganalisis potensi dampak yang ditimbulkan tehadap lingkngan, atau kesehatan manusia dan makhluk hidup lainnya


Tahapan yang dilakuka dalam identifikas limbah B3 adalah sebagai berikut:
Mencocokkan jenis limbah dengan daftar jenis limbah B3 sebagaimana ditetapkan pada lampiran 1 (Tabel 1,2, dan 3) PP 85/1999.
Apabila tidak termasuk dalam jenis limbah B3 seperti lampiran tersebut, maka harus diperiksa apakah limbah tersebut memiliki karakteristik: mudah meledak, mudah terbakar, beracun, bersifat reaktif, menyebabkan infeksi dan atau bersifat infeksius.
apabila kedua tahap telah dijalankan dan tidak termasuk dalam limbah B3, maka dilakukan uji toksikologi.


III. Karakteristik Limbah B3

Selain berdasarkan sumbernya (Lampiran 1,2 dan 3 PP 85/1999), suatu limbah dapat diidentifikasi sebagai limbah B3 berdasarkan uji karakteristik. Karakteristik limbah B3 meliputi:

- mudah meledak

- mudah terbakar

- bersifat reaktif

- beracun

- menyebabkan infeksi

- dan bersifat korosif


Suatu limbah diidentifikasikan sebagai limbah B3 berdasarkan karakteristiknya apabila dalam pengujiannya memiliki satu atau lebih kriteria atau sifat karakteristik limbah B3.

Sumber :
http://putraprabu.wordpress.com/2008/11/16/identifikasi-dan-karakteristik-limbah-b3/
16 November 2008

Daur Ulang Air Limbah

Kompas, Jumat 10 Oktober 2003

Maraknya berbagai kegiatan industri di Indonesia mengakibatkan cadangan air tanah di beberapa daerah mengalami kekeringan. Eksploitasi air tanah yang berlebihan di beberapa kota besar seperti Jakarta, Semarang, dan Surabaya, mengakibatkan terjadinya intrusi air laut dan penurunan permukaan tanah akibat kosongnya sungai-sungai air di bawah tanah.

Beberapa cara mengatasi krisis air seperti reboisasi hutan gundul dan penyuntikan air pada sungai-sungai kering di bawah tanah pada musim hujan telah dilakukan. Namun, hal ini belum dapat menyelesaikan masalah karena cadangan air tanah tetap tidak akan dapat terpenuhi selama eksploitasi air tanah yang dilakukan pihak industri tetap berlangsung.

Agar kegiatan industri tetap berlangsung dan kebutuhan masyarakat akan air bersih dapat terpenuhi metode daur ulang air limbah merupakan langkah konkret yang harus dilakukan. Dewasa ini teknologi ozon muncul sebagai teknologi tepat guna dalam proses daur ulang air limbah industri dan domestik.

Pengolahan air limbah
Pengolahan air limbah pada umumnya dilakukan dengan menggunakan metode Biologi. Metode ini merupakan metode yang paling efektif dibandingkan dengan metode Kimia dan Fisika. Proses pengolahan limbah dengan metode Biologi adalah metode yang memanfaatkan mikroorganisme sebagai katalis untuk menguraikan material yang terkandung di dalam air limbah. Mikroorganisme sendiri selain menguraikan dan menghilangkan kandungan material, juga menjadikan material yang terurai tadi sebagai tempat berkembang biaknya. Metode pengolahan lumpur aktif (activated sludge) adalah merupakan proses pengolahan air limbah yang memanfaatkan proses mikroorganisme tersebut.

Dewasa ini metode lumpur aktif merupakan metode pengolahan air limbah yang paling banyak dipergunakan, termasuk di Indonesia, hal ini mengingat metode lumpur aktif dapat dipergunakan untuk mengolah air limbah dari berbagai jenis industri seperti industri pangan, pulp, kertas, tekstil, bahan kimia dan obat-obatan. Namun, dalam pelaksanaannya metode lumpur aktif banyak mengalami kendala, di antaranya, (1) diperlukan areal instalasi pengolahan limbah yang luas, mengingat proses lumpur aktif berlangsung dalam waktu yang lama, bisa berhari-hari, (2) timbulnya limbah baru, di mana terjadi kelebihan endapan lumpur dari pertumbuhan mikroorganisme yang kemudian menjadi limbah baru yang memerlukan proses lanjutan.

Areal instalasi yang luas berarti dana investasi cukup besar, akibatnya pemanfaatan teknologi lumpur aktif menjadi tidak efisien di Indonesia, ditambah lagi dengan proses operasional yang rumit mengingat proses lumpur aktif memerlukan pengawasan yang cukup ketat seperti kondisi suhu dan bulking control proses endapan.

Limbah baru merupakan masalah utama dari penerapan metode lumpur aktif ini. Limbah yang berasal dari kelebihan endapan lumpur hasil proses lumpur aktif memerlukan penanganan khusus. Limbah ini selain mengandung berbagai jenis mikroorganisme juga mengandung berbagai jenis senyawa organik yang tidak dapat diuraikan oleh mikroorganisme. Pengolahan limbah endapan lumpur ini sendiri memerlukan biaya yang tidak sedikit. Sedikitnya 50 persen dari biaya pengolahan air limbah dapat tersedot untuk mengatasi limbah endapan lumpur yang terjadi. Akibatnya, kebanyakan di Indonesia limbah endapan lumpur ini biasanya langsung dibuang ke sungai atau ditimbun di TPA (tempat pembuangan akhir) bersama dengan sampah lainnya.

Daur ulang air limbah
Pada tahun 1994 dalam sebuah jurnal international water science technology, Hidenari yasui dari Kurita Co, Jepang, memperkenalkan sebuah proses inovasi pengolahan air limbah dengan mereduksi jumlah endapan lumpur yang dihasilkan dari proses pengolahan lumpur aktif. Proses inovasi tersebut kemudian dikenal dengan proses pengolahan air limbah emisi zero (zero emission). Hidenari yasui berhasil mereduksi hampir 100 persen dari limbah endapan lumpur dengan menerapkan teknologi ozon pada proses pengolahan air limbah lumpur aktif.

Bagan pengolahan air limbah lumpur aktif dengan penerapan sistem ozon dapat dilihat pada Gambar 1. Pada sistem ini sebagian endapan lumpur diambil untuk melalui proses ozonisasi dalam chamber ozon proses. Selanjutnya endapan lumpur tadi dikembalikan pada chamber lumpur aktif. Melalui proses ozonisasi endapan lumpur tadi menjadi material yang mudah untuk diuraikan dan direduksi oleh mikroorganisme. Dalam chamber lumpur aktif bersamaan dengan proses penguraian air limbah material oleh mikroorganisme, terjadi pula proses penguraian endapan lumpur hasil proses tersebut, sehingga tercipta sistem praktis pengolahan air limbah.

Ozon yang merupakan spesis aktif dari oksigen memiliki oksidasi potential 2.07V, lebih tinggi dibandingkan chlorine yang hanya memiliki oksidasi potential 1.36V. Dengan oksidasi potential yang tinggi ozon dapat dimanfaatkan untuk membunuh bakteri (strilization), menghilangkan warna (decoloration), menghilangkan bau (deodoration), menguraikan senyawa organik (degradation).

Dengan kemampuan multifungsi yang dimilikinya ozon dapat menguraikan endapan lumpur yang sebagian besar kandungannya adalah bakteri dan senyawa-senyawa organik seperti phenol, benzene, atrazine, dioxin, dan berbagai zat pewarna organik yang tidak dapat teruraikan dalam proses lumpur aktif.

Ozon membunuh bakteri dengan cara merusak dinding sel bakteri sekaligus menguraikan bakteri tersebut (Collignon, 1994). Hal ini berbeda dengan chlorine yang hanya mampu membunuh bakteri saja. Ozon juga mampu membunuh bakteri tipe filamen seperti bakteri S Natans, M Parvicella, Thiotrix I dan II penyebab bulking di mana zat padat dan zat cair sulit terpisahkan pada kolam pengendapan.

Dengan menerapkan teknologi ozon pada pengolahan air limbah lumpur aktif didapatkan sistem praktis pengolahan air limbah. Beberapa keuntungan penerapan sistem ini adalah lumpur endapan dapat dihilangkan sehingga pengolahan lanjutan dan/atau pencemaran sungai dapat dihindarkan, bulking dapat dihilangkan sehingga sistem proses lumpur aktif berjalan stabil, dan air limbah dapat didaur ulang.

Dengan menerapkan sistem ini didapatkan air bersih yang tidak lagi mengandung senyawa organik beracun dan bakteri yang berbahaya bagi kesehatan. Air tersebut dapat dipergunakan kembali sebagai sumber air untuk kegiatan industri selanjutnya. Diharapkan pemanfaatan sistem daur ulang air limbah akan dapat mengatasi permasalahan persediaan cadangan air tanah demi kelangsungan kegiatan industri dan kebutuhan masyarakat akan air.

Sumber :
Kompas, Jumat 10 Oktober 2003, dalam :
http://www.wattpad.com/79639-daur-ulang-air-limbah

Merubah Gaya Hidup, Solusi Limbah Plastik

Limbah plastik memang sudah menjadi permasalahan lama yang dihadapi oleh kota-kota besar di negara berkembang khususnya Indonesia. Limbah plastik selain berbahaya bagi lingkungan karena memerlukan waktu ratusan tahun untuk mengurai, juga beberapa jenis plastik yang belum menjadi sampah atau limbah pun telah dinyatakan berbahaya oleh Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM).

Beberapa artikel tentang plastik yang berbahaya bagi manusia dapat kita lihat disini dan disni.

Sebenarnya masalah limbah plastik bagi pelaku bisnis atau pengusaha (entrepreneur) adalah peluang yang dapat dikembangkan. Hal ini dibuktikan dengan munculnya beberapa industri baik skala kecil atau besar untuk mendaur ulang plastik baik secara langsung diproduksi ulang menjadi produk baru atau benar-benar didaur ulang menjadi bahan baku (raw material). Sudah pasti ini akan membawa dampak positif bagi lingkungan, selain itu industri daur ulang plastik tentu akan membuka lapangan kerja baru bagi masyarakat.

Namun permasalahan dalam industri ini masih terbentur dengan masalah bahan baku limbah plastik itu sendiri, dimana belum adanya kebijakan pemerintah untuk mengatur masyarakat untuk berperan aktif dalam daur ulang sampah. Limbah plastik di Indonesia masih saja tercampur dengan sampah lain, sehingga hal ini mengurangi nilai material limbah yang masih bisa dimanfaatkan lagi.

Sudah saatnya kita harus mulai mengikuti jejak negara-negara yang telah melakukan pengelolaan daur ulang sampah secara maju dan modern. Seperti di Jepang misalnya, daur ulang dilakukan secara besar-besaran dengan melibatkan seluruh masyarakat, didukung dan diperkuat dengan adanya undang-undang lingkungan. Para konsumen dalam hal ini masyarakat bertanggung jawab untuk memilah-milah sampah mereka masing-masing. Mereka harus memisahkan antara sampah basah dan sampah kering. Untuk sampah kering dipisah lagi menjadi sampah plastik, kaleng atau besi, dan kertas, sedangkan pemerintah akan bertanggung jawab mengorganisir sampah-sampah itu untuk diserahkan ke pabrik pendaur ulang yang telah ditunjuk.

Melakukan perubahan memang tidak bisa dilakukan secara tiba-tiba, meski peraturan di Indonesia tidak sekuat negara maju ada baiknya kita lakukan perubahan tersebut dari diri kita sendiri, karena pengelolaan sampah dan menuju lingkungan yang lebih bersih tidak lepas dari pengelolaan gaya hidup kita di masyarakat.

Tip-tip berikut mungkin dapat dilakukan untuk mengumpulkan limbah plastik untuk didaur ulang :

1. Selain memisahkan limbah plastik, cobalah cari informasi jenis-jenis plastik yang dapat didaur ulang. Industri daur ulang plastik biasanya hanya menerima botol plastik yang terbuat dari PET (#1) dan HDPE (#2) dan biasanya kemasan plastik (terutama botol plastik) termasuk dalam golongan tersebut.

2. Apabila sampah berbentuk botol plastik maka kosongkan dan cuci botol plastik. Lepas tutup dan label botol karena bersifat kontaminan. Remuk botol agar hemat tempat.

3. Pastikan tas plastik kosong dan bersih. Plastik yang terkena kontak langsung dengan makanan sebaiknya dipisahkan dari plastik yang akan di daur ulang.

4. Gunakan tas plastik lebih dari sekali. Masing-masing jenis tas plastik dapat digunakan kembali untuk hal yang berbeda-beda.

5. Kembalikan kemasan plastik untuk di daur ulang. Beberapa produsen mengadakan program yang menyarankan customer-nya untuk mengembalikan kemasan plastiknya untuk didaur ulang dengan konpensasi tertentu (contah kemasan oli, handphone, botol plastik dll). Seperti program e-waste yang dilakukan oleh salah satu produsen handphone.

6. Belilah produk-produk yang lebih tahan lama dan lebih besar untuk mengurangi frekuensi membuang kemasan atau membeli lagi. Misal membeli shampo atau deterjen dengan konsentrasi yang lebih tinggi atau lebih besar.

7. Bawalah tas belanja sendiri saat berbelanja ke supermarket. Gunakan tas belanja yang didapat sebelumnya.

Sepertinya hal-hal diatas tampak kecil, remeh dan mungkin terkesan merepotkan. Tetapi coba kita bayangkan jika kita benar-benar melakukannya, pasti dampak positif yang luar biasa dapat terjadi.

Saya yakin meski tanpa undang-undang, apabila kesadaran dan disiplin tercipta, maka proses menuju perubahan yang lebih baik lambat laun akan tercapai.

Sumber :
Mada Mahadaya
http://mahadaya.com/2009/09/11/merubah-gaya-hidup-solusi-limbah-plastik/
11 September 2009

Pengelolaan Limbah Medis

Pada umumnya 10 - 15% limbah yang dihasilkan oleh sarana pelayan kesehatan, adalah limbah medis. Limbah medis kebanyakan sudah terkontaminasi oleh bakteri, virus, racun dan bahan radioaktif yang berbahaya bagi manusia dan makhluk lain di sekitar lingkungannya. Jadi limbah medis dapat dikategorikan sebagai limbah infeksius dan masuk pada klasifikasi limbah bahan berbahaya dan beracun. Untuk mencegah terjadinya dampak negatif limbah medis tersebut terhadap masyarakat atau lingkungan, maka perlu dilakukan pengelolaan secara khusus.


KATEGORI LIMBAH

Limbah Infeksius


Limbah yang dicurigai mengandung bahan patogen contoh kultur laboratorium, limbah dari ruang isolasi, kapas, materi atau peralatan yang tersentuh pasien yang terinfeksi, ekskreta

Limbah Patologis

Jaringan atau potongan tubuh manusia, contoh bagian tubuh, darah dan cairan tubuh yang lain termasuk janin

Limbah Benda Tajam

Limbah benda tajam, contoh jarum, peralatan infus, skalpel, pisau, potongan kaca

Limbah Farmasi

Limbah yang mengandung bahan farmasi contoh obat-obatan yang sudah kadaluwarsa atau tidak diperlukan lagi, item yang tercemar atau berisi obat

Limbah Genotoksik

Limbah yang mengandung bahan dengan sifat genotoksik contoh limbah yang mengandung obat-obatan sitostatik (sering dipakai dalam terapi kanker) zat kimia genotoksik.

Produk bersifat genotoksik yang paling banyak digunakan untuk sarana pelayanan kesehatan:

1. Golongan Karsinogenik
Benzen

2. Obat Sitotoksik
Azatioprin, Klorambusil, Siklosporin, Siklofosfamid, Melfalan, Semustin, Tamoksifen, Tiotepa, Treosulfan

3. Golongan yang kemungkinan karsinogenik
Azacitidine, bleomycin, carmustine, chloramphenicol, chlorozotocin, cisplatin, dacarbazine, daunorubicin, dihydroxymethylfuratrizine (e.g. Panfuran S—no longer in use), doxorubicin, lomustine, methylthiouracil, metronidazole, mitomycin, nafenopin, niridazole, oxazepam, phenacetin, phenobarbital, phenytoin, procarbazine hydrochloride, progesterone, sarcolysin, streptozocin, trichlormethine

Limbah Kimia

Limbah yang mengandung bahan kimia contoh reagen di laboratorium, film untuk rontgen, desinfektan yang kadaluwarsa atau sudah tidak diperlukan, solven. Limbah ini dikategorikan limbah berbahaya jika memiliki beberapa sifat (toksik, korosif (pH12), mudah terbakar, reaktif (mudah meledak, bereaksi dengan air, rawan goncangan), genotoksik

Limbah dengan kandungan logam berat tinggi

Baterai, thermometer yang pecah, alat pengukur tekanan darah

Wadah bertekanan

Tabung gas anestesi, gas cartridge, kaleng aerosol, peralatan terapi pernafasan, oksigen dalam bentuk gas atau cair

Limbah Radioaktif

Limbah yang mengandung bahan radioaktif contoh cairan yang tidak terpakai dari terapi radioaktif atau riset di laboratorium

SUMBER LIMBAH MEDIS

Unit pelayanan kesehatan dasar
Unit pelayanan kesehatan rujukan
Unit pelayanan kesehatan penunjang ( laboratorium)
Unit pelayanan non kesehatan ( farmasi )

Sumber :
http://www.bplhdjabar.go.id/index.php/bidang-pengendalian/subid-pembinaan-pencemaran/245-pengelolaan-limbah-medis
3 Maret 2009