Jumat, 02 Maret 2012
Guide for Industrial Waste Management
American industrial facilities generate and dispose of approximately 7.6 billion tons of industrial solid waste each year. This number was generated back in the 1980s and represents wastes generated from 17 different industry groups representing the manufacturing Standard Industrial Classification (SIC codes), such as organic chemicals, inorganic chemicals, primary iron and steel, plastics and resin manufacturing, stone, clay, glass and concrete, pulp and paper, food and kindred products.
More :
http://www.epa.gov/epawaste/nonhaz/industrial/guide/index.htm
Selasa, 15 Desember 2009
Indonesia Pertegas Komitmen Perangi Limbah Berbahaya
Indonesia tegaskan kembali komitmennya terhadap perlindungan kesehatan manusia dan lingkungan hidup dari dampak merugikan limbah berbahaya. Hal ini nyata tercermin dari partisipasi aktif Indonesia dalam Basel Convention on the Control of Transboundary Movements of Hazardous Wastes and their Disposal, dimana Indonesia menjabat sebagai Presiden COP-9 Konvensi Basel (2008-2011). Sebagai negara dengan garis pantai terpanjang kedua di dunia, Indonesia menempatkan pengelolaan dan penanganan pergerakan lintas batas ilegal limbah berbahaya sebagai salah satu prioritas dalam penanganan isu lingkungan.
Hal-hal tersebut juga ditegaskan oleh Duta Besar/Wakil Tetap RI untuk PBB, Dian Triansyah Djani, pada konferensi pers dalam rangka persiapan Peringatan 20 tahun Konvensi Basel pada 13 November 2009 di Kantor PBB di Jenewa. Acara puncak peringatan akan diadakan di kota Basel pada hari ini (17/11). Dalam peringatan tersebut akan diluncurkan Basel Waste Solutions Circle, di mana Indonesia, Swiss, Kenya, dan Kolombia akan menyampaikan program-program penanganan limbah berbahaya di masing-masing negara sebagai kontribusi terhadap Basel Waste Solutions Circle.
Indonesia dalam hal ini akan menampilkan sebuah program khusus penanganan limbah yang disebut PROPER. Program yang akan dipresentasikan langsung oleh Menteri Negara Lingkungan Hidup tersebut merupakan Program Penilaian Peringkat Kinerja Penataan dalam Pengelolaan Lingkungan yang telah dikembangkan oleh Kementerian Negara Lingkungan Hidup sejak tahun 1995.
PROPER, dengan menggunakan metode pemberian kategori dengan warna hitam, merah, biru, hijau dan emas bagi perusahaan-perusahaan besar dalam negeri, merupakan perwujudan transparansi dan demokratisasi dalam pengelolaan lingkungan di Indonesia. Pelaksanaan program ini dilakukan secara terintegrasi dengan melibatkan berbagai pemangku kepentingan, mulai dari tahapan penyusunan kriteria penilaian, pemilihan perusahaan, penentuan peringkat, sampai pada pengumuman peringkat kinerja kepada publik.
Dalam konferensi pers, Dubes Swiss, Dante Martinelli, menyampaikan bahwa negaranya sebagai tuan rumah konferensi internasional yang mengesahkan Konvensi Basel dan sebagai tuan rumah Sekretariat Konvensi Basel, mempunyai perhatian khusus terhadap penanganan limbah berbahaya. Swiss telah menjalin kerjasama dengan beberapa negara mengenai penanganan limbah telepon genggam dan peralatan komputer.
Sementara itu, Dubes Kolombia menyampaikan mengenai proyek "Computer Programme for Educational Purposes" yang fokus utamanya pendidikan publik mengenai bahaya e-wastes dan mendorong tumbuhnya corporate social responsibility. Sedangkan Dubes Kenya menyampaikan mengenai Nairobi River Basin Rehabilitation Program (NRBP) yaitu sebuah inisiatif multi-stakeholders yang bertujuan merehabilitasi dan mengelola Nairobi River Basin dengan sasaran meningkatkan kualitas penghidupan penduduk Nairobi dan meningkatkan kualitas lingkungan.
Konvensi Basel yang disahkan di Basel di tahun 1989 merupakan kesepakatan lingkungan skala global yang paling komprehensif tentang limbah berbahaya dan limbah lain. Konvensi Basel beranggotakan 172 negara, dimana Indonesia menjadi negara pihak sejak tahun 1993.
Sumber :
http://www.deplu.go.id/Pages/News.aspx?IDP=2943&l=id
17 November 2009
Sumber Gambar:
http://wasteawarebusiness.files.wordpress.com/2009/03/waste-hierarchy1.png?w=485&h=416
Definisi Limbah
Limbah adalah buangan yang dihasilkan dari suatu proses produksi baik industri maupun domestik(rumah tangga), yang lebih dikenal sebagai sampah, yang kehadirannya pada suatu saat dan tempat tertentu tidak dikehendaki lingkungan karena tidak memiliki nilai ekonomis. Bila ditinjau secara kimiawi, limbah ini terdiri dari bahan kimia Senyawa organik dan Senyawa anorganik. Dengan konsentrasi dan kuantitas tertentu, kehadiran limbah dapat berdampak negatif terhadap lingkungan terutama bagi kesehatan manusia, sehingga perlu dilakukan penanganan terhadap limbah. Tingkat bahaya keracunan yang ditimbulkan oleh limbah tergantung pada jenis dan karakteristik limbah.
Karakteristik limbah:
Berukuran mikro
Dinamis
Berdampak luas (penyebarannya)
Berdampak jangka panjang (antar generasi)
Faktor yang mempengaruhi kualitas limbah adalah:
Volume limbah
Kandungan bahan pencemar
Frekuensi pembuangan limbah
Berdasarkan karakteristiknya, limbah industri dapat digolongkan menjadi 4 bagian:
Limbah cair
Limbah padat
Limbah gas dan partikel
Limbah B3 (Bahan Berbahaya dan Beracun)
Untuk mengatasi limbah ini diperlukan pengolahan dan penanganan limbah. Pada dasarnya pengolahan limbah ini dapat dibedakan menjadi:
pengolahan menurut tingkatan perlakuan
pengolahan menurut karakteristik limbah
Indikasi Pencemaran Air
Indikasi pencemaran air dapat kita ketahui baik secara visual maupun pengujian.
1. Perubahan pH (tingkat keasaman / konsentrasi ion hidrogen) Air normal yang memenuhi syarat untuk suatu kehidupan memiliki pH netral dengan kisaran nilai 6.5 – 7.5. Air limbah industri yang belum terolah dan memiliki pH diluar nilai pH netral, akan mengubah pH air sungai dan dapat mengganggukehidupan organisme didalamnya. Hal ini akan semakin parahjika daya dukung lingkungan rendah serta debit air sungai rendah. Limbah dengan pH asam / rendah bersifat korosif terhadap logam.
2. Perubahan warna, bau dan rasa Air normak dan air bersih tidak akan berwarna, sehingga tampak bening / jernih. Bila kondisi air warnanya berubah maka hal tersebut merupakan salah satu indikasi bahwa air telah tercemar. Timbulnya bau pada air lingkungan merupakan indikasi kuat bahwa air telah tercemar. Air yang bau dapat berasal darilimba industri atau dari hasil degradasioleh mikroba. Mikroba yang hidup dalam air akan mengubah organik menjadi bahan yang mudah menguap dan berbau sehingga mengubah rasa.
3. Timbulnya endapan, koloid dan bahan terlarut Endapan, koloid dan bahan terlarut berasal dari adanya limbah industri yang berbentuk padat. Limbah industri yang berbentuk padat, bila tidak larut sempurna akan mengendapdidsar sungai, dan yang larut sebagian akan menjadi koloid dan akan menghalangibahan-bahan organik yang sulit diukur melalui uji BOD karena sulit didegradasi melalui reaksi biokimia, namun dapat diukur menjadi uji COD. Adapun komponen pencemaran air pada umumnya terdiri dari :
Bahan buangan padat
Bahan buangan organik
Bahan buangan anorganik
Sumber : http://id.wikipedia.org/wiki/Limbah
Karakteristik limbah:
Berukuran mikro
Dinamis
Berdampak luas (penyebarannya)
Berdampak jangka panjang (antar generasi)
Faktor yang mempengaruhi kualitas limbah adalah:
Volume limbah
Kandungan bahan pencemar
Frekuensi pembuangan limbah
Berdasarkan karakteristiknya, limbah industri dapat digolongkan menjadi 4 bagian:
Limbah cair
Limbah padat
Limbah gas dan partikel
Limbah B3 (Bahan Berbahaya dan Beracun)
Untuk mengatasi limbah ini diperlukan pengolahan dan penanganan limbah. Pada dasarnya pengolahan limbah ini dapat dibedakan menjadi:
pengolahan menurut tingkatan perlakuan
pengolahan menurut karakteristik limbah
Indikasi Pencemaran Air
Indikasi pencemaran air dapat kita ketahui baik secara visual maupun pengujian.
1. Perubahan pH (tingkat keasaman / konsentrasi ion hidrogen) Air normal yang memenuhi syarat untuk suatu kehidupan memiliki pH netral dengan kisaran nilai 6.5 – 7.5. Air limbah industri yang belum terolah dan memiliki pH diluar nilai pH netral, akan mengubah pH air sungai dan dapat mengganggukehidupan organisme didalamnya. Hal ini akan semakin parahjika daya dukung lingkungan rendah serta debit air sungai rendah. Limbah dengan pH asam / rendah bersifat korosif terhadap logam.
2. Perubahan warna, bau dan rasa Air normak dan air bersih tidak akan berwarna, sehingga tampak bening / jernih. Bila kondisi air warnanya berubah maka hal tersebut merupakan salah satu indikasi bahwa air telah tercemar. Timbulnya bau pada air lingkungan merupakan indikasi kuat bahwa air telah tercemar. Air yang bau dapat berasal darilimba industri atau dari hasil degradasioleh mikroba. Mikroba yang hidup dalam air akan mengubah organik menjadi bahan yang mudah menguap dan berbau sehingga mengubah rasa.
3. Timbulnya endapan, koloid dan bahan terlarut Endapan, koloid dan bahan terlarut berasal dari adanya limbah industri yang berbentuk padat. Limbah industri yang berbentuk padat, bila tidak larut sempurna akan mengendapdidsar sungai, dan yang larut sebagian akan menjadi koloid dan akan menghalangibahan-bahan organik yang sulit diukur melalui uji BOD karena sulit didegradasi melalui reaksi biokimia, namun dapat diukur menjadi uji COD. Adapun komponen pencemaran air pada umumnya terdiri dari :
Bahan buangan padat
Bahan buangan organik
Bahan buangan anorganik
Sumber : http://id.wikipedia.org/wiki/Limbah
Impor Limbah, Tawaran Menggiurkan di Era Otonomi Daerah
Persoalan impor limbah kembali mengemuka setelah sejumlah pemerintah daerah di kawasan timur Indonesia mengaku telah didekati oleh beberapa negara yang ingin mengekspor limbahnya secara langsung ke daerah tersebut. Bagi pejabat daerah yang mulai dipusingkan dengan upaya mencari sumber pemasukan dalam rangka otonomi daerah, maka penawaran ini sangatlah menggiurkan. Layaknya games SimCity 3000 di komputer, negara tetangga akan menawarkan modal untuk melaksanakan pembangunan dengan imbalan alokasi sebagian wilayah kita sebagai tempat pembuangan sampah. Penawaran ini memang mendatangkan uang, namun semudah dan sesederhana itukah? Tulisan ini berusaha mengajak para pejabat di daerah sebagai pengambil keputusan untuk lebih arif dalam menyikapi penawaran impor limbah dengan mengkajinya dari sisi peraturan dan hukum yang mengaturnya.
Sebenarnya persoalan impor limbah bukanlah bahasan yang baru. Pada tahun 1996, Indonesia sudah pernah mengimpor limbah dari Australia, berupa: 2.417 ton limbah timah bekas, 105 ton aki bekas, dan 29.500 buah baterai bekas. Pada tahun 1998, sebanyak 91 kontainer sampah plastik impor, dimana separuh daripadanya mengandung limbah B3, tertahan di pelabuhan Tanjung Priok sebagai barang ilegal. Belum lepas pula dari ingatan, polemik rencana impor limbah lumpur dari Singapura untuk reklamasi Teluk Pelambung dan Pulau Nipah. Itu semua menunjukkan bahwa Indonesia merupakan sasaran bagi pembuangan limbah dari negara-negara maju.
Permasalahan limbah radioaktif dan bahan beracun yang mengancam kesehatan dan lingkungan termasuk dalam tujuh persoalan dunia yang keberadaannya terus diperdebatkan. Perhitungan global menunjukkan bahwa pada setiap tahunnya terdapat tiga juta ton limbah B3 yang melintas perbatasan antar negara. Konvensi Basel -konvensi yang mengatur perpindahan limbah antar negara- yang ditandatangani pada tahun 1989, sebenarnya telah melarang hal tersebut. Persoalan yang mengganjal adalah apakah limbah radioaktif harus tetap disimpan dan atau dibuang di negara yang menghasilkan limbah tersebut, sedangkan produk yang dihasilkan bisa dinikmati oleh negara lain.
Liberalisasi perdagangan dunia yang ditandai dengan penghapusan hak setiap pemerintah mengontrol ekspor oleh WTO (World Trade Organization) dikhawatirkan akan mengganggu keberadaan Konvensi Basel. Liberalisasi perdagangan dunia memudahkan industri di negara maju yang masih menggunakan teknologi yang mencemari lingkungan menghindarkan diri dari peraturan lingkungan yang diberlakukan secara ketat di negaranya. Ekspor limbah B3 dari negara maju ke negara berkembang akan meningkat sejalan dengan semakin ketatnya peraturan di negara tersebut. Jika sedari sekarang tidak cepat mengantisipasinya, Indonesia -terutama kawasan timur- akan menjadi lahan empuk bagi pembuangan limbah.
Limbah B3, seperti apa toh?
Berdasarkan Peraturan Pemerintah No 18 Tahun 1999 pasal 1, yang dimaksud dengan limbah bahan berbahaya dan beracun (selanjutnya disingkat menjadi limbah B3) adalah setiap limbah yang mengandung bahan berbahaya dan/atau beracun yang karena sifat dan/atau konsentrasinya dan/atau jumlahnya, baik secara langsung maupun tidak langsung dapat merusak dan/atau mencemarkan lingkungan hidup dan/atau dapat membahayakan kesehatan manusia. Menurut Prof. Sugeng Martopo (Alm.), Guru Besar Ilmu Lingkungan Fakultas Geografi UGM, kriteria bahan yang bersifat racun dan berbahaya adalah: (1) Eksplosif yaitu senyawa yang mudah meledak; (2) Oxidant yaitu terjadi reaksi eksotermis bila kontak dengan bahan yang mudah menyala; (3) Extremely flammable, Highly flammable, dan Flammable berkaitan dengan sifat pembakaran; (4) Very toxic yaitu bahan-bahan yang dapat menimbulkan gangguan kesehatan yang bersifat akut maupun kematian; (5) Harmful jika hanya menimbulkan resiko kesehatan sampai batas-batas tertentu, (6) Corrosive yaitu korosif pada kulit; (7) Irritant yaitu menyebabkan pembengkakan pada kulit; (8) Dangerous for the Environment yaitu menimbulkan gangguan secara langsung pada lingkungan, (9) Carsinogenic bila terhirup, terserap, atau terkena kulit, serta dapat menimbulkan kanker, (12) Mutagenic yaitu dapat menyebabkan perubahan pada gen, dan (13) Terratogenic yaitu senyawa yang bila terhirup dapat tercerna pada embrio (malformation of the embryo). Rincian dari masing-masing jenis dapat dibaca pada Lampiran PP No 85 tahun 1999.
Peraturan, Hukum, dan Sisi Lemahnya
Kebijakan pemerintah Indonesia yang masih memberikan ijin impor limbah, meskipun dimanfaatkan sebagai bahan baku daur ulang, tidak sesuai dengan jiwa Konvensi Basel. Hasil pertemuan berbagai pihak pada konvensi tersebut memutuskan pelarangan semua ekspor limbah B3 untuk tujuan pembuangan akhir dari negara industri ke negara non-OECD (Organization for Economic Cooperation and Development) melalui keputusan II/2. Selain itu telah disepakati juga pelarangan semua ekspor limbah B3 untuk keperluan daur ulang dan reklamasi, termasuk untuk bahan baku, berlaku sejak tanggal 31 Desember 1997.
Larangan total impor limbah B3 sebenarnya telah diatur dalam PP No 19/1994 pasal 27 tentang Pengelolaan Limbah B3. Namun ketentuan tersebut diubah melalui PP No 12/1995 dengan tujuan membuka kemungkinan impor limbah B3 untuk penambahan bahan baku industri. Perubahan itu disebabkan adanya desakan dari instansi yang mengurus perdagangan dan perindustrian, serta upaya lobi dari negara OECD. Pemerintah pun berkilah bahwa larangan total akan melumpuhkan industri yang masih menggunakan limbah B3 sebagai bahan bakunya. Ternyata membuka kembali impor limbah B3 tersebut hanya sekedar mempertahankan beberapa industri aki, yang tidak sebanding dengan biaya lingkungan, sosial, dan politik yang harus dibayar oleh rakyat Indonesia. Banyak pihak yang tidak setuju dan mendesak pemerintah untuk melarang total impor semua jenis limbah, namun keputusan tetap jalan terus.
Keberadaan SK Menteri Perdagangan No 349/Kp/XI/1992 tentang larangan impor sampah atau limbah plastik ke wilayah Indonesia tidak ditaati karena adanya intervensi ‘tangan yang lebih kuat.’ Indonesia seharusnya belajar dari ketegasan negara-negara di Afrika yang dalam Konvensi Bamako telah melarang impor limbah B3 ke Afrika dan mengendalikan pergerakan lintas batas dan pengelolaan limbah B3 antar sesama negara Afrika.
Perangkat hukum yang berlaku di Indonesia juga masih banyak mengandung kelemahan, karena belum dimasukkannya ketentuan ancaman hukuman pidana bagi pelanggarnya, khususnya pengimpor limbah B3. Sanksi pidana dalam UU No 4/1982 tidak bisa diterapkan bagi importir, karena sanksi pidana dalam undang-undang tersebut hanya ditujukan bagi pelaku pencemaran yang terbukti melakukan pencemaran. Tengoklah kembali kasus impor sampah dari AS yang membuat hubungan Cina-AS meregang pada tahun 1996. Sejak saat itu, pemerintah Cina memperketat pengawasan untuk mencegah masuknya impor sampah ilegal, meningkatkan pemeriksaan bea cukai, dan memberikan hukuman berat bagi pelanggar. Walhasil, William Ping Chen, seorang pengusaha AS keturunan Cina, diganjar hukuman penjara sepuluh tahun karena terbukti menyelipkan 238 ton sampah dan limbah rumah sakit diantara dua juta ton kertas bekas dan pengapalan logam. Bandingkan dengan kasus tertahannya 91 kontainer limbah B3 di Pelabuhan Tanjung Priok, yang sampai sekarang tidak ada kaji tindak hukumnya.
Perdebatan terhadap keberadaan PP No 18/1999 tentang Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun (B3) sebagai pengganti PP No 19/1994 jo PP No 12/1995 harus segera diakhiri. Peraturan Pemerintah yang merupakan modifikasi dari RCRA -uji tingkat bahaya limbah di AS- ini sebenarnya sudah mengatur limbah B3 secara terinci dan memenuhi standar seperti halnya di negara-negara barat. Oleh karena itu, sektor pertambangan dan energi yang menyatakan tetap berkomitmen pada pembangunan berwawasan lingkungan, seharusnya tidak berusaha melonggarkan lagi peraturan ini. Apalagi setelah ditetapkannya PP No 85/1999 tentang Perubahan atas PP No 18/1999, sehingga keraguan akan referensi, ukuran, metode, maupun penggolongan yang digunakan ‘seharusnya’ dihilangkan.
Berkaitan dengan masalah impor limbah, pemerintah harus melakukan pengawasan yang cermat terhadap lalu lintas limbah dari luar negeri. Sesuai isi Konvensi Basel bahwa ekspor-impor limbah tetap merupakan urusan pemerintah pusat dengan negara yang bersangkutan dan tidak dilimpahkan ke daerah. Daerah tidak diijinkan mengimpor limbah secara langsung. Pemerintah daerah yang tetap nekat untuk memasukkan limbah/sampah dengan alasan sebagai bahan baku industri, akan berhadapan dengan UU No 23/1997 tentang Larangan Pengelolaan Limbah Impor.
Penutup
Sebagai simpulannya, yang pertama bahwa impor limbah merupakan pelanggaran terhadap Konvensi Basel. Kedua, meskipun peluang impor limbah dimungkinkan bagi kebutuhan bahan baku industri, namun perlu diingat bahwa biaya cleaning up-nya ternyata jauh lebih besar. Ketiga, sesuai dengan isi Konvensi Basel bahwa daerah tidak diijinkan mengimpor limbah secara langsung tanpa persetujuan dari pemerintah pusat. Keempat, diperlukan peraturan daerah yang khusus mengenai pengelolaan limbah B3 dengan mengacu PP No 18/1999 dan perubahan atasnya yang terdapat dalam PP No 85/1999.
Akhirnya, selamat memainkan peran ‘Walikota SimCity3000’ di daerah otonomi Bapak-Bapak. Semoga keputusan untuk melakukan pembangunan yang bersih lingkungan-lah yang diambil, tanpa menghiraukan tawaran impor limbah dari negara lain yang tampaknya menggiurkan itu.
*) Penulis adalah buruh tambang minyak lepas pantai yang disela-sela waktu luang menjadi pekerja sosial kebencanaan.
Sumber :
Juniawan Priyono
http://www.sutikno.org/index.php?option=com_content&task=view&id=41&Itemid=51
24 Februari 2007
Sebenarnya persoalan impor limbah bukanlah bahasan yang baru. Pada tahun 1996, Indonesia sudah pernah mengimpor limbah dari Australia, berupa: 2.417 ton limbah timah bekas, 105 ton aki bekas, dan 29.500 buah baterai bekas. Pada tahun 1998, sebanyak 91 kontainer sampah plastik impor, dimana separuh daripadanya mengandung limbah B3, tertahan di pelabuhan Tanjung Priok sebagai barang ilegal. Belum lepas pula dari ingatan, polemik rencana impor limbah lumpur dari Singapura untuk reklamasi Teluk Pelambung dan Pulau Nipah. Itu semua menunjukkan bahwa Indonesia merupakan sasaran bagi pembuangan limbah dari negara-negara maju.
Permasalahan limbah radioaktif dan bahan beracun yang mengancam kesehatan dan lingkungan termasuk dalam tujuh persoalan dunia yang keberadaannya terus diperdebatkan. Perhitungan global menunjukkan bahwa pada setiap tahunnya terdapat tiga juta ton limbah B3 yang melintas perbatasan antar negara. Konvensi Basel -konvensi yang mengatur perpindahan limbah antar negara- yang ditandatangani pada tahun 1989, sebenarnya telah melarang hal tersebut. Persoalan yang mengganjal adalah apakah limbah radioaktif harus tetap disimpan dan atau dibuang di negara yang menghasilkan limbah tersebut, sedangkan produk yang dihasilkan bisa dinikmati oleh negara lain.
Liberalisasi perdagangan dunia yang ditandai dengan penghapusan hak setiap pemerintah mengontrol ekspor oleh WTO (World Trade Organization) dikhawatirkan akan mengganggu keberadaan Konvensi Basel. Liberalisasi perdagangan dunia memudahkan industri di negara maju yang masih menggunakan teknologi yang mencemari lingkungan menghindarkan diri dari peraturan lingkungan yang diberlakukan secara ketat di negaranya. Ekspor limbah B3 dari negara maju ke negara berkembang akan meningkat sejalan dengan semakin ketatnya peraturan di negara tersebut. Jika sedari sekarang tidak cepat mengantisipasinya, Indonesia -terutama kawasan timur- akan menjadi lahan empuk bagi pembuangan limbah.
Limbah B3, seperti apa toh?
Berdasarkan Peraturan Pemerintah No 18 Tahun 1999 pasal 1, yang dimaksud dengan limbah bahan berbahaya dan beracun (selanjutnya disingkat menjadi limbah B3) adalah setiap limbah yang mengandung bahan berbahaya dan/atau beracun yang karena sifat dan/atau konsentrasinya dan/atau jumlahnya, baik secara langsung maupun tidak langsung dapat merusak dan/atau mencemarkan lingkungan hidup dan/atau dapat membahayakan kesehatan manusia. Menurut Prof. Sugeng Martopo (Alm.), Guru Besar Ilmu Lingkungan Fakultas Geografi UGM, kriteria bahan yang bersifat racun dan berbahaya adalah: (1) Eksplosif yaitu senyawa yang mudah meledak; (2) Oxidant yaitu terjadi reaksi eksotermis bila kontak dengan bahan yang mudah menyala; (3) Extremely flammable, Highly flammable, dan Flammable berkaitan dengan sifat pembakaran; (4) Very toxic yaitu bahan-bahan yang dapat menimbulkan gangguan kesehatan yang bersifat akut maupun kematian; (5) Harmful jika hanya menimbulkan resiko kesehatan sampai batas-batas tertentu, (6) Corrosive yaitu korosif pada kulit; (7) Irritant yaitu menyebabkan pembengkakan pada kulit; (8) Dangerous for the Environment yaitu menimbulkan gangguan secara langsung pada lingkungan, (9) Carsinogenic bila terhirup, terserap, atau terkena kulit, serta dapat menimbulkan kanker, (12) Mutagenic yaitu dapat menyebabkan perubahan pada gen, dan (13) Terratogenic yaitu senyawa yang bila terhirup dapat tercerna pada embrio (malformation of the embryo). Rincian dari masing-masing jenis dapat dibaca pada Lampiran PP No 85 tahun 1999.
Peraturan, Hukum, dan Sisi Lemahnya
Kebijakan pemerintah Indonesia yang masih memberikan ijin impor limbah, meskipun dimanfaatkan sebagai bahan baku daur ulang, tidak sesuai dengan jiwa Konvensi Basel. Hasil pertemuan berbagai pihak pada konvensi tersebut memutuskan pelarangan semua ekspor limbah B3 untuk tujuan pembuangan akhir dari negara industri ke negara non-OECD (Organization for Economic Cooperation and Development) melalui keputusan II/2. Selain itu telah disepakati juga pelarangan semua ekspor limbah B3 untuk keperluan daur ulang dan reklamasi, termasuk untuk bahan baku, berlaku sejak tanggal 31 Desember 1997.
Larangan total impor limbah B3 sebenarnya telah diatur dalam PP No 19/1994 pasal 27 tentang Pengelolaan Limbah B3. Namun ketentuan tersebut diubah melalui PP No 12/1995 dengan tujuan membuka kemungkinan impor limbah B3 untuk penambahan bahan baku industri. Perubahan itu disebabkan adanya desakan dari instansi yang mengurus perdagangan dan perindustrian, serta upaya lobi dari negara OECD. Pemerintah pun berkilah bahwa larangan total akan melumpuhkan industri yang masih menggunakan limbah B3 sebagai bahan bakunya. Ternyata membuka kembali impor limbah B3 tersebut hanya sekedar mempertahankan beberapa industri aki, yang tidak sebanding dengan biaya lingkungan, sosial, dan politik yang harus dibayar oleh rakyat Indonesia. Banyak pihak yang tidak setuju dan mendesak pemerintah untuk melarang total impor semua jenis limbah, namun keputusan tetap jalan terus.
Keberadaan SK Menteri Perdagangan No 349/Kp/XI/1992 tentang larangan impor sampah atau limbah plastik ke wilayah Indonesia tidak ditaati karena adanya intervensi ‘tangan yang lebih kuat.’ Indonesia seharusnya belajar dari ketegasan negara-negara di Afrika yang dalam Konvensi Bamako telah melarang impor limbah B3 ke Afrika dan mengendalikan pergerakan lintas batas dan pengelolaan limbah B3 antar sesama negara Afrika.
Perangkat hukum yang berlaku di Indonesia juga masih banyak mengandung kelemahan, karena belum dimasukkannya ketentuan ancaman hukuman pidana bagi pelanggarnya, khususnya pengimpor limbah B3. Sanksi pidana dalam UU No 4/1982 tidak bisa diterapkan bagi importir, karena sanksi pidana dalam undang-undang tersebut hanya ditujukan bagi pelaku pencemaran yang terbukti melakukan pencemaran. Tengoklah kembali kasus impor sampah dari AS yang membuat hubungan Cina-AS meregang pada tahun 1996. Sejak saat itu, pemerintah Cina memperketat pengawasan untuk mencegah masuknya impor sampah ilegal, meningkatkan pemeriksaan bea cukai, dan memberikan hukuman berat bagi pelanggar. Walhasil, William Ping Chen, seorang pengusaha AS keturunan Cina, diganjar hukuman penjara sepuluh tahun karena terbukti menyelipkan 238 ton sampah dan limbah rumah sakit diantara dua juta ton kertas bekas dan pengapalan logam. Bandingkan dengan kasus tertahannya 91 kontainer limbah B3 di Pelabuhan Tanjung Priok, yang sampai sekarang tidak ada kaji tindak hukumnya.
Perdebatan terhadap keberadaan PP No 18/1999 tentang Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun (B3) sebagai pengganti PP No 19/1994 jo PP No 12/1995 harus segera diakhiri. Peraturan Pemerintah yang merupakan modifikasi dari RCRA -uji tingkat bahaya limbah di AS- ini sebenarnya sudah mengatur limbah B3 secara terinci dan memenuhi standar seperti halnya di negara-negara barat. Oleh karena itu, sektor pertambangan dan energi yang menyatakan tetap berkomitmen pada pembangunan berwawasan lingkungan, seharusnya tidak berusaha melonggarkan lagi peraturan ini. Apalagi setelah ditetapkannya PP No 85/1999 tentang Perubahan atas PP No 18/1999, sehingga keraguan akan referensi, ukuran, metode, maupun penggolongan yang digunakan ‘seharusnya’ dihilangkan.
Berkaitan dengan masalah impor limbah, pemerintah harus melakukan pengawasan yang cermat terhadap lalu lintas limbah dari luar negeri. Sesuai isi Konvensi Basel bahwa ekspor-impor limbah tetap merupakan urusan pemerintah pusat dengan negara yang bersangkutan dan tidak dilimpahkan ke daerah. Daerah tidak diijinkan mengimpor limbah secara langsung. Pemerintah daerah yang tetap nekat untuk memasukkan limbah/sampah dengan alasan sebagai bahan baku industri, akan berhadapan dengan UU No 23/1997 tentang Larangan Pengelolaan Limbah Impor.
Penutup
Sebagai simpulannya, yang pertama bahwa impor limbah merupakan pelanggaran terhadap Konvensi Basel. Kedua, meskipun peluang impor limbah dimungkinkan bagi kebutuhan bahan baku industri, namun perlu diingat bahwa biaya cleaning up-nya ternyata jauh lebih besar. Ketiga, sesuai dengan isi Konvensi Basel bahwa daerah tidak diijinkan mengimpor limbah secara langsung tanpa persetujuan dari pemerintah pusat. Keempat, diperlukan peraturan daerah yang khusus mengenai pengelolaan limbah B3 dengan mengacu PP No 18/1999 dan perubahan atasnya yang terdapat dalam PP No 85/1999.
Akhirnya, selamat memainkan peran ‘Walikota SimCity3000’ di daerah otonomi Bapak-Bapak. Semoga keputusan untuk melakukan pembangunan yang bersih lingkungan-lah yang diambil, tanpa menghiraukan tawaran impor limbah dari negara lain yang tampaknya menggiurkan itu.
*) Penulis adalah buruh tambang minyak lepas pantai yang disela-sela waktu luang menjadi pekerja sosial kebencanaan.
Sumber :
Juniawan Priyono
http://www.sutikno.org/index.php?option=com_content&task=view&id=41&Itemid=51
24 Februari 2007
Waspadai Limbah Industri
Indonesia akan menjadi tuan rumah konferensi kelas dunia tentang limbah Bahan Berbahaya dan Beracun (B3). Forum ini bisa menjadi momentum peningkatan pengelolaan limbah industri yang selama ini terabaikan akibat tingginya ongkos produksi.
Rencananya, Konferensi Antar Bangsa Pengelolaan Limbah B3 tingkat dunia atau Konvensi Basel ke-9 (Conference of the Parties -COP) akan berlangsung di Nusa Dua, Bali pada 23 hingga 27 Juni 2008. Konferensi Basel merupakan perjanjian internasional yang bertujuan mengendalikan pemindahan lintas batas limbah bahan berbahaya dan beracun (B3).
Konferensi akan dihadiri sekitar 1.000 peserta dari 170 negara, 30 menteri atau pejabat setingkat menteri. Menteri Lingkungan Hidup Indonesia, Rachmat Witoelar selaku presiden COP, dijadwalkan akan membuka konferensi ini.
Letak strategis Indonesia dan termasuk dalam negara kepulauan, membuat Indonesia rawan terhadap penyelundupan dan pengiriman limbah B3 ilegal. Konvensi Basel disepakati di Basel, Swiss pada Maret 1989 dan mulai berlaku resmi pada 1992. Indonesia telah meratifikasi konvensi tersebut sejak 1993 melalui Keputusan Presiden No 61/1993.
Ada baiknya konferensi juga membahas fenomena pembuangan limbah industri skala lokal. Meski belum ada angka tentang perkembangan penanganan limbah industri pasca gonjang-ganjing harga minyak dunia dan kenaikan harga BBM lokal namun sudah bisa dipastikan pengolahan limbah bakal mengendur.
Industri saat ini lebih terfokus pada upaya untuk melakukan efisiensi seiring makin melambungnya biaya produksi, belanja pegawai hingga ongkos energi. Sehingga mau tak mau akan menomorduakan persoalan pembuangan limbahnya. Apalagi pengolahan limbah memerlukan biaya tinggi
Padahal limbah industri sangat potensial sebagai penyebab terjadinya pencemaran. Pada umumnya limbah industri mengandung limbah B3, yaitu bahan berbahaya dan beracun. Menurut PP 18/99 pasal 1, limbah B3 adalah sisa suatu usaha atau kegiatan yang mengandung bahan berbahaya dan beracun yang dapat mencemarkan atau merusak lingkungan hidup sehingga membahayakan kesehatan serta kelangsungan hidup manusia dan mahluk lainnya.
Logam yang paling berbahaya dari limbah industri adalah merkuri atau yang dikenal juga sebagai air raksa (Hg) atau air perak. Limbah yang mengandung merkuri selain berasal dari industri logam juga berasal dari industri kosmetik, batu baterai, plastik dan sebagainya.
Di Jepang antara tahun 1953-1960, lebih dari 100 orang meninggal atau cacat karena mengkonsumsi ikan yang berasal dari Teluk Minamata. Teluk ini tercemar merkuri yang berasal dari sebuah pabrik plastik.
Bila merkuri masuk ke dalam tubuh manusia melalui saluran pencernaan, dapat menyebabkan kerusakan akut pada ginjal sedangkan pada anak-anak dapat menyebabkan Pink Disease/ acrodynia, alergi kulit dan kawasaki disease/mucocutaneous lymph node syndrome.
Selain itu, pencemaran industri juga berdampak buruk bagi lahan pertanian produktif dan dapat menurunkan kualitas tanah maupun kualitas produk pertanian. Pada umumnya industri dibangun di sepanjang daerah aliran sungai (DAS) dengan tujuan untuk memudahkan pembuangan limbah ke badan air.
Industri yang belum menerapkan instalasi pengolahan air limbah (IPAL) secara optimal, dan membuang langsung limbah cair ke badan air menjadi penyebab bertambahnya pencemaran. Sebagai contoh, pencemaran limbah industri yang terjadi di persawahan Kecamatan Rancaekek, Kabupaten Bandung berasal dari industri tekstil.
Karenanya limbah industri harus ditangani dengan baik dan serius oleh pemerintah dengan mengawasisungguh-sungguh. Sementara bagi pelaku industri harus melakukan cara-cara pencegahan pencemaran lingkungan dengan melaksanakan teknologi bersih, memasang alat pencegahan pencemaran, melakukan proses daur ulang.
Satu lagi yang juga mencuat dalam persoalan limbah industri ini adalah efek polusi dari pabrik berbahan baku batubara. Apalagi saat ini banyak pelaku industri yang mulai mengalihkan pengunaan energi minyak ke batu bara. Sehingga penanganan limbahnya harus lebih cepat dibanding penetrasi penggunaan batu bara di sektor industri.
Ketua Umum Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) Jabar Ade Sudradjat sudah mengingatkan untuk membangun tempat pengolahan limbah industri batubara khusus yang mampu mengolah limbah udara dan darat. "Pemerintah pusat melalui Kementerian Negara Lingkungan Hidup dan Departemen Perindustrian telah menyetujui. Kami berharap Pemprov Jabar segera menerbitkan izin tersebut," tutur Ade.
Baku mutu emisi industri berbahan baku batu bara menentukan batas maksimum partikel 150 miligram/m3, sulfur dioksida (SO2) 750 miligram/m3, nitrogen oksida (NO2) 850 miligram/m3, dan opasitas 20%.
Melihat perkembangan saat ini, tampaknya pengawasan terhadap pengolahan limbah industri makin kendor di tengah hiruk-pikuk upaya industri untuk mempertahankan produktivitasnya. Hal itu tidak boleh terjadi mengingat dampak buruk yang ditimbulkan limbah bagi kehidupan manusia. [P1]
Sumber :
M Dindien Ridhotulloh
http://www.inilah.com/berita/ekonomi/2008/06/21/34544/waspadai-limbah-industri/
21 Juni 2008
Rencananya, Konferensi Antar Bangsa Pengelolaan Limbah B3 tingkat dunia atau Konvensi Basel ke-9 (Conference of the Parties -COP) akan berlangsung di Nusa Dua, Bali pada 23 hingga 27 Juni 2008. Konferensi Basel merupakan perjanjian internasional yang bertujuan mengendalikan pemindahan lintas batas limbah bahan berbahaya dan beracun (B3).
Konferensi akan dihadiri sekitar 1.000 peserta dari 170 negara, 30 menteri atau pejabat setingkat menteri. Menteri Lingkungan Hidup Indonesia, Rachmat Witoelar selaku presiden COP, dijadwalkan akan membuka konferensi ini.
Letak strategis Indonesia dan termasuk dalam negara kepulauan, membuat Indonesia rawan terhadap penyelundupan dan pengiriman limbah B3 ilegal. Konvensi Basel disepakati di Basel, Swiss pada Maret 1989 dan mulai berlaku resmi pada 1992. Indonesia telah meratifikasi konvensi tersebut sejak 1993 melalui Keputusan Presiden No 61/1993.
Ada baiknya konferensi juga membahas fenomena pembuangan limbah industri skala lokal. Meski belum ada angka tentang perkembangan penanganan limbah industri pasca gonjang-ganjing harga minyak dunia dan kenaikan harga BBM lokal namun sudah bisa dipastikan pengolahan limbah bakal mengendur.
Industri saat ini lebih terfokus pada upaya untuk melakukan efisiensi seiring makin melambungnya biaya produksi, belanja pegawai hingga ongkos energi. Sehingga mau tak mau akan menomorduakan persoalan pembuangan limbahnya. Apalagi pengolahan limbah memerlukan biaya tinggi
Padahal limbah industri sangat potensial sebagai penyebab terjadinya pencemaran. Pada umumnya limbah industri mengandung limbah B3, yaitu bahan berbahaya dan beracun. Menurut PP 18/99 pasal 1, limbah B3 adalah sisa suatu usaha atau kegiatan yang mengandung bahan berbahaya dan beracun yang dapat mencemarkan atau merusak lingkungan hidup sehingga membahayakan kesehatan serta kelangsungan hidup manusia dan mahluk lainnya.
Logam yang paling berbahaya dari limbah industri adalah merkuri atau yang dikenal juga sebagai air raksa (Hg) atau air perak. Limbah yang mengandung merkuri selain berasal dari industri logam juga berasal dari industri kosmetik, batu baterai, plastik dan sebagainya.
Di Jepang antara tahun 1953-1960, lebih dari 100 orang meninggal atau cacat karena mengkonsumsi ikan yang berasal dari Teluk Minamata. Teluk ini tercemar merkuri yang berasal dari sebuah pabrik plastik.
Bila merkuri masuk ke dalam tubuh manusia melalui saluran pencernaan, dapat menyebabkan kerusakan akut pada ginjal sedangkan pada anak-anak dapat menyebabkan Pink Disease/ acrodynia, alergi kulit dan kawasaki disease/mucocutaneous lymph node syndrome.
Selain itu, pencemaran industri juga berdampak buruk bagi lahan pertanian produktif dan dapat menurunkan kualitas tanah maupun kualitas produk pertanian. Pada umumnya industri dibangun di sepanjang daerah aliran sungai (DAS) dengan tujuan untuk memudahkan pembuangan limbah ke badan air.
Industri yang belum menerapkan instalasi pengolahan air limbah (IPAL) secara optimal, dan membuang langsung limbah cair ke badan air menjadi penyebab bertambahnya pencemaran. Sebagai contoh, pencemaran limbah industri yang terjadi di persawahan Kecamatan Rancaekek, Kabupaten Bandung berasal dari industri tekstil.
Karenanya limbah industri harus ditangani dengan baik dan serius oleh pemerintah dengan mengawasisungguh-sungguh. Sementara bagi pelaku industri harus melakukan cara-cara pencegahan pencemaran lingkungan dengan melaksanakan teknologi bersih, memasang alat pencegahan pencemaran, melakukan proses daur ulang.
Satu lagi yang juga mencuat dalam persoalan limbah industri ini adalah efek polusi dari pabrik berbahan baku batubara. Apalagi saat ini banyak pelaku industri yang mulai mengalihkan pengunaan energi minyak ke batu bara. Sehingga penanganan limbahnya harus lebih cepat dibanding penetrasi penggunaan batu bara di sektor industri.
Ketua Umum Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) Jabar Ade Sudradjat sudah mengingatkan untuk membangun tempat pengolahan limbah industri batubara khusus yang mampu mengolah limbah udara dan darat. "Pemerintah pusat melalui Kementerian Negara Lingkungan Hidup dan Departemen Perindustrian telah menyetujui. Kami berharap Pemprov Jabar segera menerbitkan izin tersebut," tutur Ade.
Baku mutu emisi industri berbahan baku batu bara menentukan batas maksimum partikel 150 miligram/m3, sulfur dioksida (SO2) 750 miligram/m3, nitrogen oksida (NO2) 850 miligram/m3, dan opasitas 20%.
Melihat perkembangan saat ini, tampaknya pengawasan terhadap pengolahan limbah industri makin kendor di tengah hiruk-pikuk upaya industri untuk mempertahankan produktivitasnya. Hal itu tidak boleh terjadi mengingat dampak buruk yang ditimbulkan limbah bagi kehidupan manusia. [P1]
Sumber :
M Dindien Ridhotulloh
http://www.inilah.com/berita/ekonomi/2008/06/21/34544/waspadai-limbah-industri/
21 Juni 2008
IPB Temukan Bakteri Pembersih Limbah Tambang
Metode biasa butuh dana sekitar 25-30 USD perhektar, dengan metodenya lebih murah.
Salah seorang peneliti Insitut Pertanian Bogor (IPB), Dwi Andreas Santosa, berhasil menemukan bakteri pembersih limbah tambang. Ia mengklaim, hasil temuan ilmiahnya berfungsi lebih efektif daripada teknologi yang ada saat ini.
Menurutnya, bakteri temuannya itu digunakan untuk mengurangi polutan yang ada di lingkungan. Dalam istilah keilmuan, hal tersebut biasa dipanggil teknologi bioremediasi.
"Bakteri ini mampu membersihkan limbah minyak bumi, air asam tambang, dan limbah yang mengandung merkuri dan fenol," ujarnya kepada wartawan, Kamis 10 Desember 2009.
Sampai saat ini, penggunaan teknologi ini pada pengolahan limbah, masih sangat jarang. Biasanya perusahaan berskala besar lebih sering menggunakan metode kimiawi.
Bahkan, teknologi bioremediasi yang ditemukannya, lebih efektif membersihkan limbah minyak bumi daripada teknologi yang dikembangkan PT Chevron Pasific Indonesia.
Selain itu, biaya operasional yang digunakan dalam teknologi yang dikembangkannya lebih murah. "Jika dengan metode biasa butuh dana sekitar 25-30 USD perhektar, dengan metode saya bisa lebih murah. Sekitar 15 USD," terangnya.
Selama penelitian, dia pernah melakukan uji coba di Pongkor, Kecamatan Nanggung, Kabupaten Bogor. Daerah yang digunakan sebagai penambangan emas Antam dan para penambang emas tanpa ijin (Peti) tersebut, berhasil dan sukses.
"Tahun 2004 saya pernah ke Pongkor, dan untuk penelitian, kadar merkuri dalam sampel yang saya gunakan ditambah," tuturnya.
Laporan: Ayatullah Humaeni | Bogor
Sumber :
Amril Amarullah
http://nasional.vivanews.com/news/read/112908-ipb_temukan_bakteri_pembersih_limbah_tambang
10 Desember 2009
Salah seorang peneliti Insitut Pertanian Bogor (IPB), Dwi Andreas Santosa, berhasil menemukan bakteri pembersih limbah tambang. Ia mengklaim, hasil temuan ilmiahnya berfungsi lebih efektif daripada teknologi yang ada saat ini.
Menurutnya, bakteri temuannya itu digunakan untuk mengurangi polutan yang ada di lingkungan. Dalam istilah keilmuan, hal tersebut biasa dipanggil teknologi bioremediasi.
"Bakteri ini mampu membersihkan limbah minyak bumi, air asam tambang, dan limbah yang mengandung merkuri dan fenol," ujarnya kepada wartawan, Kamis 10 Desember 2009.
Sampai saat ini, penggunaan teknologi ini pada pengolahan limbah, masih sangat jarang. Biasanya perusahaan berskala besar lebih sering menggunakan metode kimiawi.
Bahkan, teknologi bioremediasi yang ditemukannya, lebih efektif membersihkan limbah minyak bumi daripada teknologi yang dikembangkan PT Chevron Pasific Indonesia.
Selain itu, biaya operasional yang digunakan dalam teknologi yang dikembangkannya lebih murah. "Jika dengan metode biasa butuh dana sekitar 25-30 USD perhektar, dengan metode saya bisa lebih murah. Sekitar 15 USD," terangnya.
Selama penelitian, dia pernah melakukan uji coba di Pongkor, Kecamatan Nanggung, Kabupaten Bogor. Daerah yang digunakan sebagai penambangan emas Antam dan para penambang emas tanpa ijin (Peti) tersebut, berhasil dan sukses.
"Tahun 2004 saya pernah ke Pongkor, dan untuk penelitian, kadar merkuri dalam sampel yang saya gunakan ditambah," tuturnya.
Laporan: Ayatullah Humaeni | Bogor
Sumber :
Amril Amarullah
http://nasional.vivanews.com/news/read/112908-ipb_temukan_bakteri_pembersih_limbah_tambang
10 Desember 2009
Berkenalan dengan Katalis Pemakan Limbah
Para pakar kimia ternyata juga memikirkan masalah lingkungan. Ada yang namanya green chemistry alias kimia hijau, yakni pengembangan ilmu kimia yang ramah lingkungan.
Pencemaran limbah industri di sungai-sungai di Indonesia yang sudah lumayan memprihatinkan. Di Jawa Barat saja, hampir semua sungai yang mengalir sudah tidak jernih lagi airnya alias tercemar. Biodegradable detergents pun bila digunakan secara berlebihan akan tetap merusak lingkungan karena ekosistem yang ada lepas tangan. Para pakar kesehatan meyakini bahwa air yang sudah melalui proses penjernihan pun tetap memiliki kandungan polutan yang infinitesimal dalam part per million (ppm) hingga part per trillon (ppt). Walaupun sangat sedikit, kandungan polutan yang ada tetap dapat merusak proses metabolisme tubuh yang berujung pada tingkat intelektual, imunitas, reproduksi, hingga tingkat molekular genetika.
Kimia Hijau?
Kita boleh sedikit bersyukur bahwa perkembangan dunia kimia lingkungan yang disebut ‘green chemistry’ sudah berkembang cukup pesat. Dalam beberapa dekade terakhir misalny, Green Chemistry Institute of the American Chemical Society terus mendukung proyek-proyek yang peduli lingkungan. Salah satu proyek yang cukup berhasil adalah Carnegie Mellon University’s for Green Oxidation Chemistry. Mereka berhasil mengembangkan katalis yang bekerja seperti enzim, katalis tersebut dinamakan tetra-amido-macrocyclic ligand activators (TAML).
TAML yang bekerja bersama hidrogen peroksida (H2O2) mampu meniru kerja enzim tubuh manusia untuk mengurai toksin yang berbahaya seperti pestisida, pewarna tekstil, dan detergen. TAML juga mampu menurunkan tingkat polusi bau, menjernihkan air, hingga bersifat disinfektan dengan membunuh bakteri setingkat anthrax.
Saat TAML larut dalam air, hydrogen peroksida mengaktifkan TAML dengan menggantikan ligan H2O dengan H2O2 pada gugus TAML. Kemudian, H2O2 yang tidak stabil terurai kembali menjadi H2O menyisakan atom oksigen. Oksigen ini saling tolak menolak dengan atom besi (Fe) yang terdapat pada pusat gugus TAML. Interaksi inilah yang membuat TAML aktif dan mampu bekerja sebagaimana enzim ataupun scavenger radikal bebas yang dalam hal ini polutan. (Untuk detailnya dapat dilihat pada www.cmu.edu/greenchemistry)
TAML diyakini dapat merevolusi penggunaan klorin sebagai anti-polutan yang sudah banyak digunakan masyarakat dan dunia industri. Pada tingkat laboratorium, TAML dianggap cukup menjanjikan, tetapi pada tingkat industri lain lagi permasalahannya. TAML masih harus diuji coba kembali untuk mengobservasi efeknya pada lingkungan bila digunakan dalam jumlah yang tidak sedikit. Jangan sampai TAML justru menjadi polutan baru yang tidak teratasi lagi. Tingkat aktivasi TAML yang cukup tinggi juga ditakuti dapat merusak ekosistem yang ada sebab bakteri setingkat anthrax (Bacillus atropheus) mampu dibunuh TAML dalam 15 menit. Selain itu, biaya adalah salah satu hal yang perlu dipertimbangkan, baik biaya sintesis TAML hingga proses revolusi industri pun dapat menarik reaksi keras dari kalangan industri. Mengganti suatu aplikasi kimia pada industri tidak mudah dan murah.
Aplikasi Green Chemistry ini pun masih menyisakan suatu permasalahan tersendiri. Masyarakat yang tidak pikir panjang dengan mudah asal buang limbah dengan angan bahwa TAML dapat mengatasinya. Beberapa kalangan berikhtiar bahwa TAML dapat menjernihkan air yang tercemar dan setelah itu masyarakat dunia harus dapat berkomitmen untuk lebih cinta lingkungan. Namun, dapatkah itu terjadi?
Diambil dari: J. Collins, Terrence and Chip Walter. “Little Green Molecules”. Scientific American M
Sumber :
Hosea Handoyo
http://netsains.com/2007/08/berkenalan-dengan-katalis-pemakan-limbah/
21 Agustus 2007
Pencemaran limbah industri di sungai-sungai di Indonesia yang sudah lumayan memprihatinkan. Di Jawa Barat saja, hampir semua sungai yang mengalir sudah tidak jernih lagi airnya alias tercemar. Biodegradable detergents pun bila digunakan secara berlebihan akan tetap merusak lingkungan karena ekosistem yang ada lepas tangan. Para pakar kesehatan meyakini bahwa air yang sudah melalui proses penjernihan pun tetap memiliki kandungan polutan yang infinitesimal dalam part per million (ppm) hingga part per trillon (ppt). Walaupun sangat sedikit, kandungan polutan yang ada tetap dapat merusak proses metabolisme tubuh yang berujung pada tingkat intelektual, imunitas, reproduksi, hingga tingkat molekular genetika.
Kimia Hijau?
Kita boleh sedikit bersyukur bahwa perkembangan dunia kimia lingkungan yang disebut ‘green chemistry’ sudah berkembang cukup pesat. Dalam beberapa dekade terakhir misalny, Green Chemistry Institute of the American Chemical Society terus mendukung proyek-proyek yang peduli lingkungan. Salah satu proyek yang cukup berhasil adalah Carnegie Mellon University’s for Green Oxidation Chemistry. Mereka berhasil mengembangkan katalis yang bekerja seperti enzim, katalis tersebut dinamakan tetra-amido-macrocyclic ligand activators (TAML).
TAML yang bekerja bersama hidrogen peroksida (H2O2) mampu meniru kerja enzim tubuh manusia untuk mengurai toksin yang berbahaya seperti pestisida, pewarna tekstil, dan detergen. TAML juga mampu menurunkan tingkat polusi bau, menjernihkan air, hingga bersifat disinfektan dengan membunuh bakteri setingkat anthrax.
Saat TAML larut dalam air, hydrogen peroksida mengaktifkan TAML dengan menggantikan ligan H2O dengan H2O2 pada gugus TAML. Kemudian, H2O2 yang tidak stabil terurai kembali menjadi H2O menyisakan atom oksigen. Oksigen ini saling tolak menolak dengan atom besi (Fe) yang terdapat pada pusat gugus TAML. Interaksi inilah yang membuat TAML aktif dan mampu bekerja sebagaimana enzim ataupun scavenger radikal bebas yang dalam hal ini polutan. (Untuk detailnya dapat dilihat pada www.cmu.edu/greenchemistry)
TAML diyakini dapat merevolusi penggunaan klorin sebagai anti-polutan yang sudah banyak digunakan masyarakat dan dunia industri. Pada tingkat laboratorium, TAML dianggap cukup menjanjikan, tetapi pada tingkat industri lain lagi permasalahannya. TAML masih harus diuji coba kembali untuk mengobservasi efeknya pada lingkungan bila digunakan dalam jumlah yang tidak sedikit. Jangan sampai TAML justru menjadi polutan baru yang tidak teratasi lagi. Tingkat aktivasi TAML yang cukup tinggi juga ditakuti dapat merusak ekosistem yang ada sebab bakteri setingkat anthrax (Bacillus atropheus) mampu dibunuh TAML dalam 15 menit. Selain itu, biaya adalah salah satu hal yang perlu dipertimbangkan, baik biaya sintesis TAML hingga proses revolusi industri pun dapat menarik reaksi keras dari kalangan industri. Mengganti suatu aplikasi kimia pada industri tidak mudah dan murah.
Aplikasi Green Chemistry ini pun masih menyisakan suatu permasalahan tersendiri. Masyarakat yang tidak pikir panjang dengan mudah asal buang limbah dengan angan bahwa TAML dapat mengatasinya. Beberapa kalangan berikhtiar bahwa TAML dapat menjernihkan air yang tercemar dan setelah itu masyarakat dunia harus dapat berkomitmen untuk lebih cinta lingkungan. Namun, dapatkah itu terjadi?
Diambil dari: J. Collins, Terrence and Chip Walter. “Little Green Molecules”. Scientific American M
Sumber :
Hosea Handoyo
http://netsains.com/2007/08/berkenalan-dengan-katalis-pemakan-limbah/
21 Agustus 2007
Langganan:
Postingan (Atom)